Penahanan

on Monday 7 May 2012


A.    Pengertian Penahanan

 “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan pendapatnya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini” (Pasal 1 butir 21 KUHAP)
Pasal 21 KUHP mengatur baik tentang sahnya maupun tentang perlunnya penahanan. Teori membedakan tentang sahnya (rechvaar-dighed) dan perlunya (noodzakelijkheid) penahanan.
Dalam penahanan adalah satu bentuk rampasan kemerdekaan bergerak seseorang. Disini terdapat pertentangan antara dua asas, yaitu hak bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang harus di pertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan tersangka.
Sahnya penahanan bersifat obyektif dan mutlak, artinya dapat diabaca dalam undang-undang delik-delik yang mana yang termasuk tersangkanya dapat dilakukan penahanan. Mutlak karena pasti, tidak dapat diatur-atur oleh penegak hukum. Sedangkan perlunnya penahanan bersifat karena yang menentukan kapan dipandang perlu diadakan penahanan tergantung penilaian pejabat yang akan melakuakan penahanan.
Kekeliruan dalam penahanan dapat mengakibatkan hal-hal yang fatal bagi penahanan. Dalam KUHAP diatur tentang ganti rugi dalam pasal 95 disamping kemungkinan digugat  pada praperadilan. Ganti rugi dalam masalah salah menahan juga telah menjadi ketentuan universal.
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga telah melakukan tindak pidana berdasarkan alat bukti yang cukup, didasari dengan adanya kekhawatiran seorang tersangka atau terdakwa tersebut :
1. Melarikan diri;
2. Merusak atau menghilangkan alat bukti;
3. Mengulangi tindak pidana tersebut.
Substansi surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim dalam hal dilakukannya penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa, di dalam surat tersebut harus memuat :
a. Identitas tersangka atau terdakwa;
b. Alasan dilakukannya penahanan;
c. Uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan;
d. Serta tempat tersangka/terdakwa ditahan
Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim harus diberikan kepada keluarga tersangka atau terdakwa. Penahanan dikenakan kepada tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima (5) tahun atau lebih
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat (3), pasal 296, pasal 335 ayat (1), pasal 353 ayat (1), pasal 372, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480, pasal 560 KUHP

B.    Pejabat Yang Berhak Menahan 
Penahanan dapat dilakukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan kepentingan penuntutan di sidang pengadilan (Pasal 20 KUHAP)
1. Penyidik atau Penyidik Pembantu (Pasal 11 ayat 1 KUHAP)
2. Penuntut Umum (Pasal 11 ayat 2 KUHAP)
3. Hakim (Pasal 11 ayat 3 KUHAP), hanya memperpanjang penahanan yang dilakukan oleh jaksa.
Pejabat yang berwenang memperpanjang penahanan sesuai dengan pasal 29 ayat (3) berbeda dengan yang berwenang memperpanjang yang biasa. Dalam ayat itu ditentukan bahwa:
a)    Pada tingkat penyidik dan penuntut diberikan oleh ketua pengadilan negeri.
b)    Pada tingkat pemerikasaan di pengadilan negeri diberikan olek ketua pengadilan tinggi.
c)    Pada tingkat pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung.
d)    Pada tingkat kasasi diberikan oleh ketua Mahkamah Agung
Dalam hal penggunaan wewenang perpanjangan penahanan tersebut KUHAP member batas-batas sebagai berikut:
1.   Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat penyidikan dan penuntutan kepada ketua pengadilan tinggi, pemeriksaan pengadilan negeri dan pemeriksaan banding kepada ketua Mahkamah Agung (pasal 29 ayat (7) KUHAP).
2.  Tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam pasal 95 dan pasal 96.

C.    Jangka Waktu Penahanan
a. penyidik = berwenang untuk menahan tersangka selama 20 hari dan demi kepentingan penyidikan dapat diperpanjang selama 40 hari
b. penuntut umum = berwenang untuk menahan tersangka selama 20 hari dan demi kepentingan pemeriksaan yanmg belum selesai dapat diperpanjang selama 30 hari
c. hakim pengadilan negeri = berwenang untuk mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap tersangka untuk paling lama 30 hari dan guna kepentingan pemeriksaan dapat diperpanjang selama 60 hari.
Artinya adalah ketika dalam tiap tingkat pemeriksaan tersangka atau terdakwa tidak terbukti dan atau masa penahanan untuk kepentingan pemeriksaan sudah lewat waktu nya maka tersangka atau terdakwa harus dikeluarkan dalam tahanan demi hukum.
Rincian penahanan dalam hukum acara pidana Indonesia sebagai berikut:
1)    Penahanan oleh penyidik atau pembantu penyidik    20 hari
2)    Perpanjangan oleh penuntut umum            40 hari
3)    Penahanan oleh penuntut umum                20 hari
4)    Perpanjangan oleh ketua pengadilan negeri        30 hari
5)    Penahanan oleh hakim pengadilan negeri            30 hari
6)    Perpanjangan oleh ketua pengadilan negeri        60 hari
7)    Penahanan oleh hakim pengadilan tinggi            30 hari
8)    Perpanjangan oleh ketua pengadilan tinggi        60 hari
9)    Penahanan oleh Mahkamah Agung            50 hari
10)    Perpanjangan oleh ketua Mahkamah Agung        60 hari
Jadi, seseorang tersangka atau terdakwa dari pertama kali ditahan dalam rangka penyidikan sampai pada tingkat kasasi dapat ditahan paling lama 400 hari.   Pejabat yang berwenang memperpanjang penahanan sesuai dengan pasal 29 ayat 3.
Menurut pasal 30 KUHAP, apabila tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada pasal 24, pasal 25, pasal 26, pasal 27 dan pasal 28 atau perpanjangan penahanan sebagimana tersebut pada pasal 29 ternyata tidak sah, tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang dimaksud dalam pasal 95 dan 96.

D.    Syarat Penahanan
1. Syarat Obyektif, yaitu syarat tersebut dapat diuji ada atau tidaknya oleh orang lain;
2. Syarat Subyektif, yaitu karena hanya tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi apakah syarat itu ada atau tidak  (Moeljanto (1978:25)
    Syarat Penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat 1 KUHAP :
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana”.
    Pasal 21 ayat 4 KUHAP:
Tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
1. Tindak pidana itu diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih.
2.Tindak pidana tersebut melanggar pasal:
a. 282 ayat 3 : penyebaran tulisan-tulisan, gambar-gambar, atau barang-barang lain yang isinya melanggar kesusilaan dan perbuatan tersebut merupakan suatu kebiasaan atau sebagai mata pencaharian
b. Pasal 296 KUHP : tindak pidana sebagai mata pencaharian atau membantu perbuatan cabul.
c. 335 ayat 1 KUHP : tindak pidana memaksa orang untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu.
d. 351 ayat 1 KUHP: Tindak pidana penganiayaan
e. 353 ayat 1 KUHP: Tindak pidana penganiayaan yang direncanakan lebih dahulu
f. 372 KUHP: Tindak pidana penggelapan
g. 378 KUHP: Tindak pidana penipuan
h. 379a KUHP: Tindak pidana penipuan dalam jual beli
i. 453 KUHP: Tindak pidana yang dilakukan nahkoda kapal Indonesia dengan sengaja atau melawan hukum menghindarkan diri memimpin kapal
j. 454 KUHP: Tindak pidana melarikan diri dari kapal bagi awak kapal
k. 455 KUHP: Tindak pidana melarikan diri dari kapal bagi pelayan kapal
l. 459 KUHP: Tindak pidana yang dilakukan penumpang kapal yang menyerang nahkoda
m. 480 KUHP: Tindak pidana penadahan
n. 506 KUHP: Tindak pidana melakukan pekerjaan sebagai germo.
    Tindak pidana diluar KUHP
1. Pelanggaran terhadap ordonansi Bea Cukai, terakhir diubah dengan staatsblad Tahun 1931 Nomor 471 (Rechten Ordonantie) Paal 25 dan 26
2. UU No.8 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi Paal 1,2,3
3. UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkoika Pasal 36 ayat 7, 41, 42, 43, 47 dan 48

E.    Dasar penahanan:
a.Unsur Objektif/Yuridis:
– Tindak pidana yg disangkakan diancam dgn 5 (lima) tahun penjara atau lebih.
– Pidana dlm psl 282/3(kesusilaan), 296(perbuatan cabul), 335/1(perbuatan tdk menyenangkan, pencemaran nama baik), 351/1(penganiayaan berat kecuali percobaan penganiayaan), 372(penggelapan), 378(penipuan), 379a(penipuan), 453, 454, 455, 459, 480 dan 506 KUHAP, 25 dan 26 stbld 1931 no. 471 (pelanggaran terhadap ordonansi beacukai), psl 1, psl 2 dan psl 4 UU TP Imigrasi.
b. Unsur Subjektif:
Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, atau dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana (psl 21/1 KUHAP).

F.    Tata cara penahanan
a. dengan surat perintah penahanan dari penyidik/penuntut umum/hakim yg berisi:
– identitas tersangka,
– menyebut alasan penahanan,
– uraian singkat kejahatan yg disangkakan,
– menyebut dgn jelas ditempat mana tersangka ditahan. (psl 21/2)
b. menyerahkan tembusan surat perintah penahanan kepada keluarga tersangka.   

G.    Keberatan atas penahanan:
a. tersangka, keluarga, atau penasihat hukum dapat mengajukan keberatan atas penahanan atau atas jenis penahanan yang dikenakan kepada tersangka kepada penyidik yang melakukan penahanan itu (psl 123/1)
b. apabila dalam waktu 3 (tiga) permintaan tersebut belum dikabulkan oleh penyidik, tersangka, keluarga atau PH dapat mengajukan hal itu kepada atasan penyidik (psl 123/3).
c. Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dalam ayat tersebut dapat mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat (psl 123/5).

H.    Macam-macam bentuk penahanan:
a. Rumah tahanan negara (Rutan)
Tersangka atau terdakwa yang masih sedang dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan ditahan di Rutan.
Perbedaan jenis-jenis penahanan  sebagaimana yang di maksud pasal 22 (1) KUHAP, dapat juga dilihat perbedaan cara  pengurangannya dari pidana yang di jatuhkan. Dalam pasal 22 ayat 4 KUHAP dinyatakan  bahwa masa penangkapan dan penahanan (Rutan) dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang di jatuhkan. Kemudian dalam ayat 5 pasal tersebut dinyatakan pula bahwa penahanan rumah hanya dikurangkan 1/3 dan tahanan kota dikurangkan 1/5 dari pidana yang dijatuhkan. Mengenai jangka waktu penahanan diatur dalam pasal 24 sampai dengan pasal 29 KUHAP, pengaturan tersebut dilakukan secara instansional sesuai dengan tahap pemeriksaan.
    Pengeluaran tahanan
a. pengeluaran tahanan atas permintaan penyidik untuk kepentingan pemeriksaan (psl 112)
b. pengeluaran tahanan karena pengalihan jenis penahanan (psl 22/1 dan 3b)
    Pembebasan tahanan
a. apabila seorang tersangka/terdakwa tidak diperlukan lagi penahanan guna kepentingan pemeriksaan, instansi yang melakukan penahanan dapat atau berwenang untuk memerintahkan pembebasan tahanan dari rutan (psl 24, 25, 26, 27, 28)
b. apabila hukuman yang dijatuhkan telah sesuai dengan masa tahanan yang dijalani, pejabat rutan berwenang untuk mengeluarkan seorang tahanan dari rutan apabila putusan peminadanaan yang dijatuhkan pengadilan terhadap tahanan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedang pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan sama lamanya dengan masa tahanan yang dijalani. Kepala rutan tidak memerlukan surat perintah dari instansi manapun untuk membebaskan tahanan.
    Pembebasan tahanan demi hukum
Apabila masa tahanan telah habis, tetapi tidak ada surat perpanjangan penahanan. Maka kepala rutan harus membebaskan tahanan dari rutan.
    Pengeluaran tahanan
a. pengeluaran tahanan atas permintaan penyidik untuk kepentingan pemeriksaan (psl 112)
b. pengeluaran tahanan karena pengalihan jenis penahanan (psl 22/1 dan 3b)
    Pembebasan tahanan
a. apabila seorang tersangka/terdakwa tidak diperlukan lagi penahanan guna kepentingan pemeriksaan, instansi yang melakukan penahanan dapat atau berwenang untuk memerintahkan pembebasan tahanan dari rutan (psl 24, 25, 26, 27, 28)
b. apabila hukuman yang dijatuhkan telah sesuai dengan masa tahanan yang dijalani, pejabat rutan berwenang untuk mengeluarkan seorang tahanan dari rutan apabila putusan peminadanaan yang dijatuhkan pengadilan terhadap tahanan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedang pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan sama lamanya dengan masa tahanan yang dijalani. Kepala rutan tidak memerlukan surat perintah dari instansi manapun untuk membebaskan tahanan.
    Pembebasan tahanan demi hukum
Apabila masa tahanan telah habis, tetapi tidak ada surat perpanjangan penahanan. Maka kepala rutan harus membebaskan tahanan dari rutan.
b. Rumah, penahanan rumah dijelaskan  dalam peraturan pelaksanaan KUHAP,tapi hal ini tidak disebut dalam PP Nomor 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP. Dalam  praktik, jarang dilakukan penahanan rumah.
c. Kota (psl 22/1)
Dilakukan di kota/desa/kampung tempat kediaman tersangka. Selama dalam tahanan wajib melapor pada waktu yang ditentukan (psl 22/3) Pengalihan jenis penahanan (psl 23). Perbedaan jumlah pengurangan masa penahanan Rutan dan penahanan rumah/kota tersebut di dasarkan pada pemikiran bahwa penahanan Rutan dirasakan sebagai bentuk penahanan yang paling berat di bandingkan dengan jenis penahanan rumah/kota.
 pasal 22 ayat (5), untuk penhanan kota pengurangannya 1/5 dari jumlah lamanya waktu penahanan. Ini berarti bahwa  penyidik atau penuntut umum atau hakim dalam mengalihkan bentuk penahanan dari satu ke yang lain harus menghitung dengan seksama.

I.    Tata cara pengalihan penahanan:
Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 22. Pengalihan jenis penahanan dinyatakan secara tersendiri dengn surat perintah dari penyidik atau penuntut umum atau penetapan hakim yang tembusannya diberikan kepada tersangka atau terdakwa serta keluarganya dan kepada instansi yang berkepentingan pasal 23 (berkenaan dengan jangka waktu penahanan menurut pasal 24 KUHAP):
a.    perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari.
b.    Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat 1 apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. Setiap perpanjangan penahanan hanya dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang untuk itu atas dasar alas an dan resume hasil pemeriksaan yang diajukan kepadanya.
c.    Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat 1 dan ayat 2 tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
d.    Setelah waktu enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
 Setiap orang yang ditahan dapat mengajukan permohonan pengalihan jenis penahanan dari penahanan rutan ke jenis penahanan rumah atau jenis penahan kota.
    Pengurangan masa tahanan:
a. Penahanan rutan, pengurangannya sama dengan jumlah masa penahanan.
b. Penahanan rumah,pengurangannya sama dengan 1/3 x jumlah masa penahanan.
c. Penahanan kota, jumlah pengurangan masa penahanannya sma dengan 1/5 x jumlah masa penahanan kota yang telah dijalani. (psl 22/5)
    Kunjungan penasihat hukum ke rutan
    Harus meminta ijin dulu dari instansi yang bertanggungjawab secara yuridis atas penahanan (psl 20 Per MenKeh No. M.04.UM.01.06/1983)
    Penangguhan penahanan
Atas permintaan tersangka atau terdakwa penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan orang berdasarkan syarat yang ditentukan. (psl 31 KUHAP Jo. Psl 35 dan 36 PP no. 27/1983 Jo. Psl 25 Per MenKeh No. M.04.UM.01.06/1983. tgl 16 Desember 1983 Jo. Kep MenKeh No. M.14-PW.07.03/1983 tanggal 10 Desember 1983)
    Syarat yang ditentukan dalam hal penangguhan penahanan adalah :
a. tidak keluar rumah dan kota;
b. wajib lapor.
    Penangguhan penahanan dapat terjadi apabila ada:
1. permintaan dari tersangka/terdakwa
2. permintaan disetujui oleh instansi yang menahan dengan syarat dan jaminan yang ditetapkan
3. ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan
    Jaminan penangguhan penahanan bisa berupa
1. Jaminan Uang yang ditetapkan secara jelas dan disebutkan dalam surat perjanjian penangguhan penahanan. Uang jaminan tersebut disimpan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang penyetorannya dilakukan oleh tersangka/terdakwa atau keluarganya atau kuasa hukumnya berdasarkan formulir penyetoran yang dikeluarkan oleh instansi yang menahan. Bukti setoran tersebut dibuat dalam rangkap tiga dan berdasarkan bukti setoran tersebut maka instansi yang menahan mengeluarkan surat perintah atau surat penetapan penangguhan penahanan
2. Jaminan orang, maka si penjamin harus membuat pernyataan dan kepastian kepada instansi yang menahan bahwa penjamin bersedia bertanggung jawab apabila tersangka/terdakwa yang ditahan melarikan diri. Untuk itu harus ada surat perjanjian penangguhan penahanan pada jaminan yang berupa orang yang berisikan identitas orang yang menjamin dan instansi yang menahanenetapkan besarnya jumlah uang yang harus ditanggung oleh penjamin (uang tanggungan)
    Penyetoran uang tanggungan baru bisa dilaksanakan apabila
1. tersangka/terdakwa melarikan diri
2. setelah tiga bulan tidak diketemukan
3. penyetoran uang tanggungan ke kas negara dilakukan oleh orang yang menjamin melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri
4. pengeluaran surat perintah penangguhan didasarkan atas jaminan dari si penjamin


DAFTAR PUSTAKA

1.    http://eprints.ui.ac.id/9277/
2.    http://www.kangnasrulloh.co.cc/2009/04/p-e-n-h-n-n.html
3.  Hamzah, Andi.1994. Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori Dan Praktek Penahanan-Dakwaan- Requisitoir. Jakarta:Penerbit Rineka Ciptra
4.    http://www.pengacaraonline.com
5.    http://www.santoslolowang.com/hukum/penahanan/
6.    Kansil, C.S.T.1989. pengantar ilmu hukum dan Tata hukum di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
7.  Hamid, Hamrat, dan Harun, m.husein.1992. pembahasan permasalan KUHAP bidang penyidikan. Jakarta: Sinar Grafika.
8.    Hamzah, Andi.2008. Hukum acara pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Eksekusi Tindak Pidana Umum

on Friday 4 May 2012



A.    Hal Menjalankan Putusan Hakim
    Putusan Pengadilan Negeri baru dapat dijalankan, apabila sudah mendapat kekuatan pasti, yaitu apabila tidak mungkin atau tidak diadakan perbandingan seketika diucapkan di muka umum, kecuali apabila terdakwa mohon pertangguhan menjalankan putusan selama empat belas hari dalam tempo mana terhukum berniat akan memajukan permohonan grasi kepada Presiden.
    Biasanya keputusan dapat dijalankan terhadap tertuduh hanya setelah keputusan tadi menjadi keputusan terakhir dengan perkataan lain apabila upaya-upaya hukum yang biasa telah ditempuh. Hukum yang dijatuhkan tanpa kehadiran tertuduh atau “in absentia” merupakan kekecualian. Apabila surat panggilan telah disampaikan kepada tertuduh secara pribadi atau dimana tertuduh hadir pada persidangan menurut jangka waktu yang telah ditentukan dimana permohonan banding harus masuk dimulai dengan dinyatakannya kesalahan terdakwa kesalahan terdakwa dan hukuman dijatuhkan dan tidak perlu adanya pemberitahuan khusus mengenai keputusan pengadilan. Apabila permohonan grasi sudah masuk berkas panitera pengadilan delapan hari setelah masuknya keputusan biasanya ini berakibat ditangguhkannya eksekusi sambil menantikan diterima atau ditolaknya permohonan grasi.
    Dalam hal dimohon banding dari putusan Pengadilan Negeri oleh Pengadilan Tinggi, maka putusan Pengadilan Negeri juga belum dapat dijalankan, melainkan harus ditunggu putusan dalam perbandingan oleh Pengadilan Tinggi.

B.    Pelaksanaan Putusan oleh Jaksa
    Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu Penitera mengirimkkan salinan surat putusan kepada jaksa (Pasal 270 KUHAP). Eksekusi putusan pengadilan baru dapat dilakukan oleh jaksa, setelah jaksa menerima salinan surat putusan dari panitera. Menurut SEMA No. 21 Tahun 1983 Tanggal 8 Desember 1983 batas waktu pengiriman salinan putusan dari Panitera kepada jaksa untuk perkara acara biasa paling lama 1 (satu) minggu dan untuk perkara dengan acara singkat paling lama 14 hari.
    Pelaksanaan putusan pengadilan oleh jaksa atau penuntut umum ini, bukan lagi pada penuntutan seperti penahanan, dakwaan, tuntutan dan lain-lain yang dalam ini jelas KUHAP menyatakan : “jaksa”, berbeda dengan pada penuntutan seperti penahanan, dakwaan, tuntutan dan lain-lain disebut “penuntut umum”. Dengan sendirinya ini berarti Jaksa yang tidak menjadi Penuntut Umum untuk suatu perkara boleh melaksanakan putuan pengadilan.
    Di dalam Pasal 36 ayat 4 UUKK diatur tentang pelaksanaan keputusan hakim yang memperhatikan kemanusiaan dan keadilan. Pertama-tama, Panitera membuat dan menandatangani surat keterangan bahwa putusan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Kemudian Jaksa membuat surat perintah menjalankan putusan pengadilan yang dikirim kepada Lembaga Pemasyarakatan.
    Kalau Panitera belum dapat mengirimkan kutipan putusan, oleh karena surat putusan belum selesai pembuatannya, maka kutipan itu dapat diganti dengan suatu keterangan yang ditandatangani oleh Hakim dan Penitera dan yang memuat hal-hal yang harus disebutkan dalam surat kutipan tersebut. Jaksa setelah menerima surat kutipan atau surat keterangan tersebut di atas, harus berusaha, supaya putusan Hakim selekas mungkin dijalankan.
    Dan bagaimana dengan pelaksanaan pidana mati dalam ketentuan Pasal 271 KUHAP sebenarnya juga telah diatur dalam KUHP yaitu dalam rumusan Pasal 11 KUHP disamping ketentuan ini dengan stbld 1945 no. 123 ditentukan bahwa pidana mati sebagai dan sejauh tidak ditentukan lain oleh Presiden dilaksanakan dengan jalan tembak mati. Dan dalam praktiknya beberapa waktu yang lalu pidana mati dijalankan dengan jalan menembak mati ini.
    Menurut Pasal 329 HIR pidana mati dilakukan dihadapan Jaksa yang menurut perkara yang kemudian mengakibatkan dijatuhkannya pidana mati itu. Diusahakan agar pelaksanaan pidana mati tidak sampai dilihat oleh umum. Tata cara pelaksanaan pidana mati ini selanjutnya diatur dengan Penetapan Presiden No. 2/1964 LN. 1964 No. 38 tanggal 27 April 1964 sebagaimana mestinya.
    Dalam tata cara pelaksanaannya ditentukan bahwa pidana mati dilakukan dengan penembakan, atau mungkin jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman maka pidana mati tersebut dilaksanakan disuatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (pasal 2 ayat (4)).
    Dalam ketentuan selanjutnya disebutkan dalam pasal 3, yaitu : “Kepala Polisi Komisariat Daerah (Kapolda : yang sekarang) tempat kedudukan pengadilan tersebut dalam pasal 2, setelah mendengar nasihat jaksa tinggi atau jaksa yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati.”
Dan kemudian ketentuan pasal 4 menyatakan : “Kepala Polisi tersebutlah yang menjaga keamanan dan menyediakan alat-alat yang diperlukan untuk itu. Ia bersama-sama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa menghadiri pelaksanaan pidana mati. Jaksa Tinggi/Jaksa bertanggungjawab atas pelaksanaannya.”
    Dengan cara yang sesederhana mungkin pelaksanaan tersebut dilaksanakan seperti halnya pelaksanaan dalam pasal 329 HIR dimuka, terkecuali ditetapkan oleh Presiden. Untuk pelaksanaan pidana mati dalam ketentuan pasal 271 KUHAP sama dan menurut Undang-Undang.
    Mengenai pelaksanaan putusan yang berupa pidana denda, KUHAP hanya mengatur dalam 1 pasal saja, yaitu Pasal 273 ayat (1): “Jika putusan pengadilan menjatuhkan pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi”. Dalam ayat (2) pasal tersebut, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama satu bulan. Perlu diingat, bahwa jika dijatuhkan pidana denda dengan subsidair pidana kurungan pengganti, terpidana dapat melunasi separuh dendanya dan separuhnya lagi dijalani sebagai pidana kurungan.
    Kita juga dapat melihat dalam peraturan lama (HIR) pada Pasal 379, dikatakan bahwa “upah dan ganti kerugian bagi pokrol, penasihat atau pembela dan wakil, tidak boleh dimasukkan dalam pidana membayar ongkos perkara, tetapi harus ditanggung selalu oleh pihak yang meminta bantuan pada orang yang demikian itu atau berwakil kepadanya”. Oleh karena pemanggilan saksi-saksi, ahli juru bahasa, dan sebagainya untuk menghadap di persidangan dilakukan oleh jaksa, maka jelas bahwa perhitungan ongkos perkara pidana itu ada pada jaksa dan hakim.
    Perhitungan jaksa itu seharusnya diajukan dalam tuntutannya (requisitoir). Dalam tuntutan itu, jaksa (penuntut umum) menuntut agar terpidana dipidana pula membayar biaya perkara dengan jumlah tertentu, sesuai Pasal 197 ayat (1i) KUHAP dan Pasal 275 KUHAP. Walaupun KUHAP tidak menyebut bahwa beban biaya perkara itu adalah pidana seperti HIR. Namun karena tidak diatur pidana pengganti seperti halnya dengan denda, maka menjadi piutang negara dan oleh karena itu dapat dibebankan kepada terpidana atau ahli warisnya.
    Menurut pendapat penulis, praktik yang biasa dilakukan jaksa dewasa ini, jika terpidana tidak membayar biaya perkara, agar tidak merupakan tunggakan hasil dinas kejaksaan, jaksa meminta keterangan tidak mampu dari pamong praja bagi terpidana untuk membebaskannya dari pembayaran dan menghapuskan sebagai tunggakan, tidaklah tepat semacam itu hanya berlaku untuk biaya perkara perdata (Pasal 237 dan seterusnya HIR). Terutama dalam perkara-perkara besar seperti korupsi, penyelundupan, dan lain-lain, biaya perkara seharusnya dapat ditagih. Kurungan pengganti denda seharusnya berimbang. Misalnya pidana denda satu juta rupiah (delik ekonomi, korupsi, dan narkotika) subsidair 10 bulan kurungan berarti setiap bulan dimulai seratus ribu rupiah. Terpidana dapat memilih, dibayar seluruh denda tersebut atau separuhnya secara berimbang.
    Mengenai pelaksanaan pidana perampasan barang bukti, jaksa mengusahakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa, (Pasal 273 ayat (3) KUHAP). Ini pun dapat diperpanjang paling lama 3 bulan. Selain perampasan barang bukti, dapat juga diputus untuk dimsunahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi (Pasal 46 ayat (2) KUHAP).
    Dalam hal ini pun, jaksa yang melaksanakannya dengan suatu berita acara perusakan atau pemusnahan. Misalnya dalam praktik buku-buku dan barang-barang lain yang mudah terbakar, pemusnahannya dengan jalan dibakar, sedangkan senjata tajam dibuang ke laut. Jika dijatuhkan pidana ganti kerugian, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 (ganti kerugian kepada pihak lain yang dirugikan atau korban delik) maka pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan perdata. Jadi berarti melalui juru sita.

C.    Macam-macam Bentuk Eksekusi
1.    Eksekusi pidana denda
    Jika putusan pengadilan menjatuhka pidana denda, kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika dilunasi (Pasal 273 ayat (1) KUHAP).
    Menurut Surat Edaran Mahkamah Agung/SEMA No. 2 Tahun 1983 tanggal 8 Desember 1983, yang dimaksud dengan perkataan “harus seketika dilunasi” dalam Pasal 273 ayat (1) KUHAP harus diartikan :
a.    Apabila terdakwa atau kuasanya hadir pada waktu putusan diucapkan, maka pelunasannya harus dilakukan pada saat diucapkan;
b.    Apabila terdakwa atau kuasanya tidak hadir pada waktu putusan diucapkan, maka pelunasannya harus dilakukan pada saat putusan itu oleh jaksa diberitahukan kepada terpidana.
    Jika terdapat alasan yang kuat, maka jangka waktu pembayaran pidana denda dapat diperpanjang untuk paling lama satu bulan. Dengan demikian jangka waktu pembayaran pidana denda paling lama dua bulan. Dan apabila setelah dua bulan dendanya belum juga dibayar oleh terpidana, maka eksekusi pidana dendanya diganti dengan pidana kurungan sebagai pengganti denda (Pasal 30 ayat (2) KUHP).
2.    Eksekusi barang rampasan untuk negara
    Apabila putusan pengadilan juga menetapkan bahwa barang bukti dirampas untuk negara, selain pengecualian sebagaimana tersebut pada Pasal 46, jaksa menguasakan benda atau barang rampasan tersebut kepada Kantor Lelang Negara dan dalam waktu 3 (tiga) bulan untuk dijual lelang, yang hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa (kejaksaan). Jangka waktu pelelangan tersebut dapat diperpanjang untuk paling lama 1 (satu) bulan. Dengan demikian maka dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan barang rampasan untuk negara itu sudah berhasil dijual melalui Kantor Lelang Negara (Pasal 273 ayat (3) dan (4) KUHAP).
3.    Eksekusi biaya perkara
    Apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dibebankan kepada mereka bersama-sama secara berimbang. Berhubung terdakwa dalam hal yang dimaksud dalam Pasal 275 bersama-sama dijatuhi pidana karena dipersalahkan melakukan tindak pidana dalam satu perkara, maka adalah wajar bilamana biaya perkara dan atau ganti kerugian ditanggung bersama secara berimbang (Pasal 275 KUHAP dan penjelasannya).
    Siapapun yang diputus dijatuhi pidana, dibebani membayar biaya perkara. Dalam hal dijatuhkan adalah putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka biaya perkara dibebankan kepada negara (222 KUHAP). Biaya perkara yang dibebankan kepada terpidana disebutkan jumlahnya dalam putusan pengadilan dan pelaksanaan penagihan/pemungutannya dilakukan oleh jaksa.
    Apabila terpidana tidak mau membayar biaya perkara, jaksa dapat menyita sebagian barang milik terpidana untuk dijual lelang guna melunasi biaya perkaranya. Sedangkan terpidana yang nyata-nyata tidak mampu dan atau tidak diketahui alamatnya berdasarkan Surat Keterangan Lurah/Kepala Desa, maka Jaksa/KAJARI yang bersangkutan dapat mengajukan usul atau permohonan penghapusannya kepada Jaksa Agung.

4.    Eksekusi pidana bersyarat
    Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14a ayat (1) jo 14d ayat (1) KUHP), maka pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh menurut ketentuan undang-undang (Pasal 276 KUHAP). Sampai sekarang ini (setelah Negara Hukum RI berusia 57 tahun) belum ada undang-undang yang mengatur tentang pelaksanaan, pengawasan dan pengamatan terhadap terpidana yang menjalani pidana bersyarat.   
5.    Eksekusi pidana mati
    Dalam hal pengadilan menjatuhkan putusan pidana mati maka pelaksanaannya dilakukan menurut ketentuan undang-undang tidak di muka umum (Pasal 271 KUHAP). Menurut ketentuan yang diatur dalam KUHP Pasal 11 pelaksanaan hukuman/pidana mati dijalankan oleh algojo di tempat penggantungan dengan menggunakan sebuah jerat di leher terpidana dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri.
    Ketentuan yang diatur dalam KUHP tersebut sejak tanggal 27 April 1964 sudah tidak berlaku karena diganti dengan UNDANG-UNDANG No. 2/PNPS/1964 tentang TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI YANG DIJATUHKAN OELH PENGADILAN DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN MILITER. Pelaksanaan atau eksekusi pidana mati tidak dapat dilakukan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan Grasi diterima oleh terpidana (Pasal 13 UU No. 22 TH. 2002).
    Dengan tidak mengurangi ketentua-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang menjalankan putusan pengadilan, maka pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal berikut (pasal 1) Kepala Polisi Komisariat Daerah (KAPOLDA) tempat kedudukan pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama, setelah mendengar nasihat dari Jaksa Tinggi atau Jaksa yang bertanggung jawab untuk melaksanakan (eksekusinya) menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana matau (pasal 3 ayat (1)).
    Kepala Polisi Komisariat Daerah bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu. (Pasal 3 ayat (3)). Pidana mati dilaksanakan tidak dimuka umum dan dengan cara seederhana mungkin, kecuali ditetapkan lain oleh Presiden (pasal 9).
    Untuk pelaksanaan pidana mati Kepala Polisi Komisariat Daerah membentuk sebuah regu penembak yang terdiri dari seorang bintara, duabelas orang tamtama dibawah pimipinan seorang perwira, semuanya dari Brigade Mobil (Brimob). Khusus untuk melaksanakan tugas pelaksanaan pidana mati, Regu Penembak tidak menggunakan senjata organiknya. Regu penembak berada dibawah perintah Jaksa Tinggi/jaksa sampai selesainya pelaksanaan pidana mati (pasal 10).
    Setelah terpidana siap di tempat dimana dia akan menjalankan pidana mati, maka regu penembak dengan senjata sudah terisi menuju ke tempat yang telah ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa (Pasal 13 ayat (1)). Apabila semua persiapan telah selesai, maka Jaksa Tinggi/Jaksa yang bersangkutan memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah seupaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya keatas memerintahkan regunya untuk membidik jantung terpidana dan dengan menyatakan pedangnya ke bawah secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak (Pasal 14). Jaksa tinggi/Jaksa pelaksana pidana mati harus segera membuat berita acara pelaksanaan pidana mati.

D.    Biaya Perkara
    KUHAP hanya menyebut tentang biaya perkara tanpa memperinci bagaimana perhitungannya, dalam putusan yang bagaimana yang diharuskan terpidana membayar biaya perkara, dan bagaimana menagihnya. Dua pasal yang menyebut biaya perkara itu, yang pertama di bagian keputusan pengadilan dan yang lain di bagian pelaksanaan keputusan. Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang mengatur apa yang harus dimuat suatu putusan pada huruf i menyebut: “ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan, dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti, dan ketentuan mengenai barang bukti.”
    Ketentuan kedua yaitu pasal 275 KUHAP, menyatakan bahwa apabila lebih dari satu orang dipidana dalam satu perkara, maka biaya perkara dan atau ganti kerugian dibebankan kepada mereka secara berimbang. Di sini ada perbedaan dengan peraturan lama (HIR), karena menurut HIR, pembayaran biaya perkara ditanggung oleh terpidana secara sendiri-sendiri (Hoofdelijk). Jadi, masing-masing bertanggung jawab membayar keseluruhan biaya perkara.
    Juga HIR jelas mengatur bahwa setiap orang yang dipidana harus dipidana pula membayar biaya perkara (Pasal 378), jadi bersifat imperatif. Hanya orang yang dibebaskan (vrijkspraak) dan yang lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechts vervolging) yang tidak membayar biaya perkara. Dalam undang-undang, baik KUHAP maupun HIR tidak mengatur sanksi jika biaya perkara tidak dibayar. Jadi, jelas merupakan piutang negara (perdata). Kemudian tidak jelas pula bagaimana memperhitungkan besarnya biaya perkara itu.
    Kegiatan-kegiatan apa yang diperhitungkan untuk biaya perkara. Untuk itu, perlu kita bercermin pada hukum acara pidana Belanda (Ned. Sv) yang mengatur lebih jelas dalam Pasal 581 : (....semua biaya yang timbul karena pemanggilan dan ganti kerugian saksi-saksi dan ahli-ahli, pelimpahan berkar perkara, dan biaya perjalanan untuk menghadiri sidang peradilan, dengan kecuali biaya-biaya yang tidak perlu). Patut disebut di sini bahwa sebagai dasar jaksa menagih biaya perkara, harus dinyatakan hal itu dalam suatu surat perintah bevel schrift.

E.    Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan
    Pada saat dan selama si terpidana menjalankan hukumannya menurut putusan pengadilan yang telah dieksekusi oleh jaksa, masih juga ada aturan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan itu. Aturan detil teknis untuk itu ditentukan dalam KUHAP Pasal 277-283, di antaranya diatur bahwa setiap pengadilan harus memiliki dan menunjuk khusus hakim yang diberikan tugas membantu ketua pengadilan. Tugasnya adalah untuk melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap setiap putusan pengadilan itu yang menjatuhkan hukuman perampasan kemerdekaan seperti pidana kurungan, penjara, pidana bersyarat, dan sebagainya. Dengan tugas itu, dia disebut sebagai hakim pengawas dan pengamat yang ditunjuk bertugas paling lama dua tahun. Tugas pengawasan dan pengamatan itu sudah dimulai sejak jaksa menyampaikan tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang dilakukannya. Berita acara itu harus dicatat oleh panitera di dalam register pengawasan dan pengamatan.
    Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan telah dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan Lembaga Pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya. Pengematan tersebut tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya. Pengawasan dan pengamatan tersebut berlaku juga bagi terpidana bersyarat (Pasal 280 KUHAP). Atas permintaan Hakim Pengawas dan Pengamat Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut. Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, hakim pengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu (Pasal 282 KUHAP). Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat kepada Ketua Pengadilan secara berkala (Pasal 283 KUHAP).
    KUHAP merumuskan secara eksplisit bahwa pengawasan dan pengamatan oleh hakim itu dimaksudkan agar diperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan telah benar-benar dilaksanakan (Pasal 280). Hasil yang diperoleh dari pengawasan itu akan menjadi bahan penelitian untuk memperoleh manfaat apakah yang dapat ditemukan dari pemidanaan itu terhadap perilaku si narapidana. Dari hasil penelitian itu, akan dapat pula diketahui bentuk dan cara pembinaan apa yang lebih sesuai dan dapat saling berpengaruh timbal balik terhadap cara hidup si terpidana selama dalam menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan. Bahkan, bisa jadi hasil penelitian itu pun akan berguna juga sampai dengan setelah si terpidana selesai menjalani hukumannya dan kembali ke masyarakat. Untuk maksud seperti itulah maka hakim pengawas dapat meminta kepada atau diberikan sebagai laporan oleh kepala LP secara berkala atau sewaktu-waktu mengenai perkembangan perilaku dan pembinaan yang diberikan kepada si terpidana. Konsultasi dan konseling koordinatif antara hakim pengawas dengan kalapas dapat dilakukan terhadap cara pengawasan dan pembinaan terpidana tertentu dengan mengetahui kelakuan khusus dalam melaksanakan hukumannya.
    Ketentuan KUHAP tentang pengawasan dan pengamatan di atas itu menunjukkan bahwa hukum acara pidana yang dianut Indonesia kini, tidak lagi bertujuan untuk menghukum sebagai balas dendam atas kejahatan si terpidana. Hukuman sebagai balas dendam atas kejahatan telah ditinggalkan sebagai bagian peradaban hukum masa lalu. Ajaran hukum terkini yang dianut Indonesia adalah bahwa pelaksanaan hukum merupakan satu rehabilitasi dan reintegrasi bagi terpidana agar kembali hidup normal ke dalam peradaban masyarakat umum. Dengan ajaran yang diyakini itu, maka yang dulunya penjara telah diganti nama jadi lembaga pemasyarakatan (LP). Nuansa substansi dalam konsep LP menjadi sebentuk klinik penyembuhan penyakit masyarakat dalam bentuk kejahatan yang diidap oelh si terpidana. Jumlah dan lama hukumannya menjadi sebentuk resep obat dengan kadar kualitas tertentu, yang jika resep itu telah dipenuhi, maka seharusnya orang yang bersangkutan sudah akan sehat, normal, kembali ke masyarakat setelah keluar dari LP.
    Dengan adanya ketentuan tentang pengawasan hakim terhadap pelaksanaan putusan maka kesenjangan (gap) yang ada antara apa yang diputuskan hakim dan kenyataan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan dan di luar lembaga pemasyarakatan jika terpidana dipekerjakan di situ dapat dijembatani. Hakim dapat mengikuti perkembangan terpidana sebagai narapidana dan juga perlakuan para petugas lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan.
    Pelaksanaan pengawasan dan pengamatan yang dilakukan oleh hakim KUHAP adalah sebagai berikut.
1.    Mula-mula jaksa mengirim tembusan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan yang telah ditandatangani olehnya, kepada kepala lembaga pemasyarakatan, terpidana, dan kepada pengadilan yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama (Pasal 278 KUHAP).
2.    Panitera mencatat pelaksanaan tersebut dalam register pengawasan dan pengamatan. Register tersebut wajib dibuat, ditutup, dan ditandatangani oleh panitera setiap hari kera dan untuk diketahui ditandatangani juga oleh hakim pengawas dan pengamat (Pasal 279 KUHAP).
3.    Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan semestinya. Hakim tersebut mengadakan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, serta pengaruh timbal balik antara perilaku narapidana dan pembinaan narapidana oleh lembaga pemasyarakatan. Pengamatan tetap dilaksanakan setelah terpidana selesai menjalani pidananya, pengawasan dan pengamatan berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat (Pasal 280 KUHAP).
4.    Atas permintaan hakim pengawas dan pengamat, kepala lembaga pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentangn perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut (Pasal 281 KUHAP).
5.    Hakim dapat membicarakan denagn kepala lembaga pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu. Hasil pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh hakim pengawas dan pengamat kepada ketua pengadilan secara berkala (Pasal 282 dan 283 KUHAP).

F.    Hapusnya Hak Eksekusi
    Pada umumnya, setelah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap, jaksa pada kesempatan pertama akan melakukan eksekusi (Pasal 270 KUHAP). Akan tetapi, adakalanya jaksa tidak dapat melakukan eksekusi atau hak eksekusi telah habis sehingga putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dapat dilakukan untuk selama-lamanya. Hal ini dapat terjadi karena hal-hal berikut.
1.    Kematian terpidana
    Doktrin menganut paham bahwa hukuman atau pidana dijatuhkan semata-mata terhadap pribadi terpidana atau si terhukum, karenanya tidak dapat dibebankan kepada ahli waris. Dengan demikian, jika terpidana meninggal dunia, hak eksekusi tidak dapat dilakukan.
    Terhadap ketentuan di atas, dahulu ada pengecualian yang dimuat dalam Pasal 368 HIR yang berbunyi sebagai berikut.
“Jika orang yang melakukan pelanggaran pidana telah meninggal setelah putusan hakim yang tidak dapat diubah lagi, maka dalam perkara-perkara pelanggaran peraturan pajak dan cukai, semua denda dan perampasan serta biaya-biayanya ditagih dari ahli-ahli waris atau wakil-wakil orang yang meninggal itu.”
    Akan tetapi, ketentuan di atas tidak dianut oleh KUHAP. Sebaiknya dalam rangka penyempurnaan KUHAP, hal tersebut perlu mendapat perhatian.
2.    Daluwarsa
    Ketentuan tentang daluwarsa hak eksekusi dimuat dalam Pasal 84 KUHP yang berbunyi sebagai berikut.
(1)    Hak menjalankan hukuman hilang karena daluwarsa
(2)    Tenggang daluwarsa ini untuk pelanggaran-pelanggaran, lamanya dua tahun, untuk kejahatan yang dilakukan dengan alat percetakan, lamanya lima tahun, dan untuk kejahatan lain, lamanya sama dengan lebih tenggang daluwarsa hak menuntut pidana, ditambah sepertiga.
(3)    Tenggang daluwarsa ini sekali-kali tidak boleh kurang dari lamanya hukuman yang telah dijatuhkan.
(4)    Hak menjalankan hukuman mati tidak kena daluwarsa.
Berkenaan dengan Pasal 84 ayat (3) KUHP, menjadi kabur jika terpidana dijatuhkan hukuman seumur hidup. Sayogyanya hal ini termasuk ayat (4).
3.    Grasi
    Ketentuan tentang grasi dimuat dalam Pasal 14 UUD 1945. Pengertian grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk menghapuskan seluruh hukuman yang telah dijatuhkan hakim atau mengurangi hukuman, atau menukar hukuman pokok yang berat dengan suatu hukuman yang lebih ringan. Dahulu, grasi ini merupakan hak raja sehingga dianggap sebagai anugerah raja. Akan tetapi, pada saat ini grasi merupakan suatu alat untuk menghapuskan suatu yang dirasa tidak adil jika hukum yang berlaku menimbulkan kekurangadilan.
    Prihal grasi ini sekarang diatur oelh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi.


DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2009. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Offset
Hendrastanto, Dkk. 1987. Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara
HMA Kuffal. 2007. Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum. Malang: UMM Press
Hulsman. 1984. Sistem Peradilan Pidana dalam Perspektif Perbandingan Hukum. Jakarta: CV. Rajawali
Marpaung, Leden. 2008. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, cet. IV
Prodjodikoro, Wiryono. 1990. Hukum Acara Pidana Di Indonesia. Bandung: Sumur
Simanjuntak, Nikolas. 2009. Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia