Pasal 1 ayat (1) KUHP: “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”
Dalam hukum pidana, dikenal asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Dalam bahasa latin, dikenal sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli yang artinya lebih kurangnya adalah tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Asas ini di masa kini lebih sering diselaraskan dengan asas non retroaktif, atau asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut. Secara mudah, asas ini menyatakan bahwa tidak dipidana kalau belum ada aturannya.
Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya. Kalau, misalnya seseorang suami yang menganiaya atau mengancam akan menganiaya istrinya untuk memaksa bersetubuh tidak dapat dipidana menurut KUHP yang berlaku. Sebab Pasal 285 KUHP (Pasal 242 Wetboek van Strafrecht/Sr) hanya mengancam perkosaan “di luar pernikahan”. Syarat tersebut di atas bersumber dari asas legalitas.
1. Sejarah Asas Legalitas
Ucapan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli ini berasal dari Anselm von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: “Lehrbuch des peinlichen Recht” (1801). Dalam kaitannya dengan fungsi asas legalitas yang bersifat memberikan perlindungan kepada undang undang pidana, dan fungsi instrumental, istilah tersebut dibagi menjadi tiga yaitu:
• Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang;
• Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;
• Nullum crimen sine poena legalli: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Di dalam hukum romawi kuno, yang memakai bahasa latin, tidak dikenal pepatah ini; juga asas legalitas tidak dikenal. Dalam sebuah karangan dalam : Tijdschrift v. Strafrecht dalam halaman 337 dikatakan bahwa di zaman Romawi itu dikenal kejahatan yang dinamakan criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam Undang-Undang.
Di antara crimina extra ordinaria ini yang sangat terkenal adalah crimina stellionatus, yang letterlijk artinya: perbuatan jahat, durjana. Jadi tidak ada ditentukan perbuatan berupa apa yang dimaksud di situ. Sewaktu hukum Romawi kuno itu diterima di Eropa Barat dalam abad Pertengahan, sebagaimana halnya kita dalam jaman penjajahan, meresipier hukum Belanda) maka pengertian tentang crimina extra ordinaria ini diterima pula oleh raja-raja yang berkuasa. Dan dengan adanya crimina extra ordinaria ini lalu diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja sendiri.
Sebagai puncak reaksi terhadap sistim absolutisme raja-raja yang berkuasa tersebut, yang dinamakan zaman Ancien Regime, maka di situlah timbul pikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan terlebih dahulu (Prof. Moeljatno mempergunakan istilah wet) perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar warga lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Menurut Montesquieu dalam bukunya “L’esprit des Lois” (1748, dan JJ Rousseau “Dus Contrat Social” (1762), pertama tama dapat diketemukan pemikiran tentang asas legalitas ini. Asas ini, diadopsi dalam undang-undang adalah dalam pasal 8 “Declaration des Droits de l’homme et du citoyen” (1789), semacam undang-undang dasar pertama yang dibentuk dalam tahun pecahnya Revolusi Perancis. Bunyinya: Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah. Dari peraturan tersebut, asas ini dimasukkan dalam Pasal 4 Penal Code di Perancis, di bawah pemerintahan Napoleon (1801). Dan dari sinilah asas ini dikenal di Belanda karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek van Strafrecht Nederland 1881, Pasal 1 dan kemudian karena adanya asas konkordansi, antara Nederland Indie (Indonesia) dan Nederland, masuklah ke dalam pasal 1 Wetboek van Strafrecht Nederland Indie 1918.
Perumusan asas legalitas dari von Feurbach dalam bahasa latin tersebut dikemukakan sehubungan dengan teori vom psychologischen zwang, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macam perbuatan yang dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macam pidana yang dikenakan. Dengan cara demikian ini, maka setiap orang yang akan melakukan perbuatan yang dilaran tersebut terlebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian, dalam hatinya, lalu terdapat suatu kesadaran atau tekanan untuk tidak berbuat hal tersebut. Dan kalau akhirnya perbuatan tadi tetap dilakukan, maka apabila pelaku dijatuhi hukuman atas perbuatan pidana tersebut, dapat dianggap pelaku telah mneyetujuinya. Jadi, pendirian von Feuerbach mengenai pidana ialah pendirian yang tergolong absolut. Sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).
1. Arti Pasal 1 KUHP
Pasal 1 Kitab Undang undang hukum pidana menjelaskan kepada kita bahwa:
• Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Oleh karena itu pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan;
• Ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada daripada perbuatan itu, dengan kata lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu ketentuan tersebut tidak berlaku surut (asas non retroaktif), baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya.
• Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa. Jadi, sepanjang menguntungkan terdakwa, maka pemberlakuan hukum pidana yang baru (meskipun berlaku surut) dapat dilaksanakan.
Sesuai dengan jiwa pasal 1 KUHP, disyaratkan juga bahwa ketentuan undang-undang harus dirumuskan secermat mungkin. Ini dinamakan asas lex certa. Undang-undang harus membatasi dengan tajam dan jelas wewenang pemerintah terhadap rakyat (lex certa: undang-undang yang dapat dipercayai). Pengertian dasar pasal 1 KUHP juga berkaitan dengan jiwa pasal 3 KUHP: hukum pidana harus diwujudkan dengan prosedur yang memadai dan dengan jaminan hukum.
Satochid Kertanegara dalam buku Hukum Pidana (kumpulan bahan kuliah) menyatakan bahwa dengan adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut di atas, maka KUHP tidak dapat berlaku surut. Hal ini berarti bahwa:
1. KUHP tidak dapat berlaku surut, ini adalah asas yang pertama. Adapun rasionya adalah bahwa KUHP harus bersumber pada peraturan tertulis (asas non retroaktif);
2. KUHP harus bersumber pada peraturan tertulis.
Jadi hukum pidana tidak boleh bersumber pada hukum adat, atau hukum tidak tertulis lainnya. Lain dengan hukum perdata dimana hukum adat masih menjadi salah satu sumber hukum. Hal ini bertentangan dengan pendapat Prof. Moeljatno yang menyatakan bahwa hukum pidana adat itu masih berlaku walaupun hanya untuk orang-orang tertentu dan sementara saja. Dasarnya adalah Pasal 14 ayat 2 UUD Sementara.
Jadi dengan meninjau ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) dimana tekanan diletakkan pada perkataan “sebelumnya”, ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak dapat berlaku surut. Namun asas ini bukan merupakan asas yang mutlak. Sebagaimana telah disampaikan dalam buah pemikiran Prof. Moeljatno diatas, senada dengan itu, Prof. Satochid Kartanegara juga menyampaikan bahwa terhadap asas non retroaktif ini, terdapat pengecualian dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa. Dari aturan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ayat ini memungkinkan memperlakukan KUHP secara surut, pada umumnya untuk memperlakukan undang-undang secara surut (asas retroaktif), sepanjang, undang-undang yang baru ini lebih menguntungkan terdakwa/tersangka. Untuk memahami aturan ayat (2) ini, pertama-tama harus dipahami apa yang dimaksudkan dengan perubahan di dalam undang-undang. Perubahan dimaksud adalah perubahan yang terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang, dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, dan apabila undang-undang yang baru ini lebih menguntungkan daripada undang-undang yang lama maka undang-undang yang baru itu harus diperlakukan kepada dirinya. Jadi singkatnya, KUHP boleh diperlakukan surut apabila:
• Dilakukan perubahan undang-undang;
• Perubahan ini terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, akan tetapi sebelum dijatuhkan hukuman terhadap perbuatan tersebut;
• Undang-undang yang baru terlebih menguntungkan bagi si tersangka, daripada undang-undang yang lama.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat perlindungan kepada undang-undang pidana: undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Disamping fungsi melindungi tersebut, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan. Asas legalitas ada hubungannya dengan fungsi instrumental dari undang-undang pidana tersebut.
1. Asas Legalitas atau asas oportunitas terhadap penuntutan pidana
Rumusan ketiga von Feuerbach berhubungan dengan fungsi instrumental undang-undang pidana dan merupakan ajaran paksaan psikologis. Undang-undang pidana diperlukan untuk memaksa rakyat berbuat menurut hukum dengan mengancamkan pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum. Tetapi agar ancaman pidana itu mempunyai efek, tiap-tiap pelanggar undang-undang harus sungguh-sungguh dipidana.
Pemerintah juga harus selalu mempergunakan wewenang yang diberikan kepadanya untuk memidana. Disinipun ada landasar syarat keadilan, yaitu asas persamaan, adalah tidak adil dalam keadaan yang sama memidana pelanggar undang-undang yang satu sedangkan yang lain tidak dipidana. Dalam arti keharusan menuntut pidana, asas legalitas mempunyai banyak pengikut terutama di Jerman, di mana sejak akhir abad yang lalu titik tolak dari tindakan yustisial yaitu setiap pelanggaran undang-undang harus dituntut. Ini berlaku juga di beberapa negara lain.
Sebaliknya, di perancis, belgia, dan khususnya di belanda, diikuti asas oportunitas, yang menentukan bahwa pemerintah berwenang tetapi tidak berkewajiban menurut undang-undang untuk menuntut semua perbuatan pidana. Karena alasan-alasan oportunitas penuntutan itu, dapat juga diabaikan (lihat pasal 167 dan 242 Sv).
Cacat-cacat dalam penerapan asas legalitas ini karena adanya pertentangan anatara fungsi instrumental dan fungsi melindungi. Terkadang, demi kepentingan fungsi instrumental undang-undang pidana, kadang fungsi melindungi dikurangi. Syarat-syarat perlindungan hukum kepada rakyat tidak boleh mengikat pemerintah sedemikian rupa sehingga menghalangi tugas penuntutan pidana yang efektif. Harus ada penimbangan kepentingan. Dalam hal ini kita berada di lapangan politik hukum kriminal.
1. Berbagai Aspek asas legalitas
Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:
• Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Pengertian yang pertama tersebut di atas, bahwa harus ada aturan udang-undang jadi aturan hukum yang tertulis terlebih dahulu, jelas tampak dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, dimana dalam teks Belanda disebutkan: “wettelijke strafbepaling”, yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya ketentuan ini, konsekuensinya adalah perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab di situ tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis.
• Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi/kiyas. Asas bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas) pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di Indonesia dan di belanda pada umunya masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa ahli yang tidak dapat menyetujui hal ini, misalnya Taverne, Pompe dan Jonkers. Prof. Scholter menolak adanya perbedaan antara analogi dan tafsiran ekstensif, yang nyata-nyata diperbolehkan. Menurut pendapatnya, baik dalam hal penafsiran ekstensif, maupun dalam analogi dasarnya adalah sama, yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum atau lebih abstrak) daripada norma yang ada. Penerapan undang-undang berdasarkan analogi ini berarti penerapan suatu ketentuan atas suatu kasus yang tidak termasuk di dalamnya. Penerapan berdasarkan analogi dari ketentuan pidana atas kejadian-kejadian yang tidak diragukan patut diidana, akan tetapi tidak termasuk undang-undang pidana memang pernah dilakukan.
• Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada sebelumnya, semikian pasal 1 ayat (1) KUHP. Ayat (2) pasal tersebut memberikan pengecualian sebagaimana telah kita bahas diatas. Peraturan ini berlaku untuk seluruh proses perkara. Dengan kata lain, kalau dalam waktu antara putusan tingkat pertama dan tingkat banding, atau antara banding dengan kasasi terjadi perubahan undang-undang untuk kepentingan terdakwa, maka Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan MA harus menerapkan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Ingat, larangan kekuatan surut hanya berlaku untuk ketentuan pidana. Tidak untuk peraturan yurisdiksi misalnya yang berhubngan dengan wewenang pembentuk undang-undang nasional lainnya.
Namun Sahetapy menambahkan lagi empat aspek yakni:
• Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan. Pemidanaan juga harus berdasarkan undang-undang, tidak diperbolehkan berdasarkan kebiasaan. Jadi pelanggaran atas kaidah kebiasaan dengan sendirinya belum menghasilkan perbuatan pidana. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa kaidah kaidah kebiasaan tidak berperan dalam hukum pidana. Adakalanya undang-undang pidana secara implisit atau eksplisit menunjuk ke situ. Penunjukan secara implisit ke kebiasaan terdapat pada blanket norm seperti dalam pasal 282 KUHP, dan beberapa delik omisi di mana tidak berbuat dapat dipidana. Penunjukan secara eksplisit ke kebiasaan terdapat dalam Pasal 8 Wet Oorlogsstrafrecht 1950 (UU Hukum Pidana Perang di Belanda) yang mengancam pidana berat terhadap pelanggaran undang-undang dan kebiasaan perang. Ketentuan-ketentuan tersebut semuanya melanggar asas lex-certa.
• Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa). Syarat lex certa berarti bahwa undang-undang harus cukup jelas, sehingga:
a) Merupakan pegangan bagi warga masyarakat dalam memilih tingkah lakunya, dan
b) Untuk memberikan kepastian kepada penguasa mengenai batas-batas kewenangannya.
Namun tidak mungkin untuk merumuskan semua kelakuan yang patut dipidana secara cermat dalam undang-undang. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang untuk kelakuan masyarakat, juga ditentukan berdasarkan kebiasaan yang berlaku disitu. Walaupun demikian, orang berhak untuk bertanya, apakah pembuat undang-undang dengan pasal 8 Wet Oorlogsrecht tidak terlampau mudah menyelesaikan tugasnya.
• Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang. Undang-undang menentukan pidana-pidana yang dijatuhkan, demikian bunyi Pasal 89 ayat (2) UUD Belanda. Dengan undang-undang disini adalah undang-undang dalam arti formal. Pembentuk undang-undang yang lebih rendah dapat membuat peraturan pidana selama diizinkan oleh pembentuk undang-undang formal. Tetapi tidak boleh menciptakan pidana lain daripada yang telah diatur dan ditentukan oleh undang-undang dalam artian formal. Hakim juga tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana lain daripada yang telah ditentukan oleh undang-undang. Meskipun demikian, pasal 14a KUHP memberikan wewenang kepada hakim untuk menetapkan syarat khusus kepada pidana bersyarat berupa kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi oleh terpidana, namun hal ini ada batasan-batasannya.
• Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang. Penuntutan pidana adalah seluruh proses pidana, mulai dari pengusutan sampai pelaksanaan pidana (bandingkan pasal 1 butir 7 KUHAP: penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan negeri yang berwenang dalam hal ini menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Peraturan acara pidana dengan demikian sama di seluruh negara. Larangan membuat peraturan acara pidana berlaku untuk pembentuk undang-undang yang lebih rendah, tidak untuk pembentuk undang-undang dalam arti formal.
Daftar Pustaka
Dalam hukum pidana, dikenal asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Dalam bahasa latin, dikenal sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli yang artinya lebih kurangnya adalah tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Asas ini di masa kini lebih sering diselaraskan dengan asas non retroaktif, atau asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut. Secara mudah, asas ini menyatakan bahwa tidak dipidana kalau belum ada aturannya.
Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya. Kalau, misalnya seseorang suami yang menganiaya atau mengancam akan menganiaya istrinya untuk memaksa bersetubuh tidak dapat dipidana menurut KUHP yang berlaku. Sebab Pasal 285 KUHP (Pasal 242 Wetboek van Strafrecht/Sr) hanya mengancam perkosaan “di luar pernikahan”. Syarat tersebut di atas bersumber dari asas legalitas.
1. Sejarah Asas Legalitas
Ucapan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli ini berasal dari Anselm von Feuerbach, sarjana hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: “Lehrbuch des peinlichen Recht” (1801). Dalam kaitannya dengan fungsi asas legalitas yang bersifat memberikan perlindungan kepada undang undang pidana, dan fungsi instrumental, istilah tersebut dibagi menjadi tiga yaitu:
• Nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang;
• Nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana;
• Nullum crimen sine poena legalli: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang.
Di dalam hukum romawi kuno, yang memakai bahasa latin, tidak dikenal pepatah ini; juga asas legalitas tidak dikenal. Dalam sebuah karangan dalam : Tijdschrift v. Strafrecht dalam halaman 337 dikatakan bahwa di zaman Romawi itu dikenal kejahatan yang dinamakan criminal extra ordinaria, artinya kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam Undang-Undang.
Di antara crimina extra ordinaria ini yang sangat terkenal adalah crimina stellionatus, yang letterlijk artinya: perbuatan jahat, durjana. Jadi tidak ada ditentukan perbuatan berupa apa yang dimaksud di situ. Sewaktu hukum Romawi kuno itu diterima di Eropa Barat dalam abad Pertengahan, sebagaimana halnya kita dalam jaman penjajahan, meresipier hukum Belanda) maka pengertian tentang crimina extra ordinaria ini diterima pula oleh raja-raja yang berkuasa. Dan dengan adanya crimina extra ordinaria ini lalu diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja sendiri.
Sebagai puncak reaksi terhadap sistim absolutisme raja-raja yang berkuasa tersebut, yang dinamakan zaman Ancien Regime, maka di situlah timbul pikiran tentang harus ditentukan dalam peraturan terlebih dahulu (Prof. Moeljatno mempergunakan istilah wet) perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, agar warga lebih dahulu bisa tahu dan tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Menurut Montesquieu dalam bukunya “L’esprit des Lois” (1748, dan JJ Rousseau “Dus Contrat Social” (1762), pertama tama dapat diketemukan pemikiran tentang asas legalitas ini. Asas ini, diadopsi dalam undang-undang adalah dalam pasal 8 “Declaration des Droits de l’homme et du citoyen” (1789), semacam undang-undang dasar pertama yang dibentuk dalam tahun pecahnya Revolusi Perancis. Bunyinya: Tidak ada sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang dan diundangkan secara sah. Dari peraturan tersebut, asas ini dimasukkan dalam Pasal 4 Penal Code di Perancis, di bawah pemerintahan Napoleon (1801). Dan dari sinilah asas ini dikenal di Belanda karena penjajahan Napoleon, sehingga mendapat tempat dalam Wetboek van Strafrecht Nederland 1881, Pasal 1 dan kemudian karena adanya asas konkordansi, antara Nederland Indie (Indonesia) dan Nederland, masuklah ke dalam pasal 1 Wetboek van Strafrecht Nederland Indie 1918.
Perumusan asas legalitas dari von Feurbach dalam bahasa latin tersebut dikemukakan sehubungan dengan teori vom psychologischen zwang, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macam perbuatan yang dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macam pidana yang dikenakan. Dengan cara demikian ini, maka setiap orang yang akan melakukan perbuatan yang dilaran tersebut terlebih dahulu telah mengetahui pidana apa yang akan dijatuhkan kepadanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian, dalam hatinya, lalu terdapat suatu kesadaran atau tekanan untuk tidak berbuat hal tersebut. Dan kalau akhirnya perbuatan tadi tetap dilakukan, maka apabila pelaku dijatuhi hukuman atas perbuatan pidana tersebut, dapat dianggap pelaku telah mneyetujuinya. Jadi, pendirian von Feuerbach mengenai pidana ialah pendirian yang tergolong absolut. Sama halnya dengan teori pembalasan (retribution).
1. Arti Pasal 1 KUHP
Pasal 1 Kitab Undang undang hukum pidana menjelaskan kepada kita bahwa:
• Suatu perbuatan dapat dipidana kalau termasuk ketentuan pidana menurut undang-undang. Oleh karena itu pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak dimungkinkan;
• Ketentuan pidana itu harus lebih dahulu ada daripada perbuatan itu, dengan kata lain, ketentuan pidana itu harus sudah berlaku ketika perbuatan itu dilakukan. Oleh karena itu ketentuan tersebut tidak berlaku surut (asas non retroaktif), baik mengenai ketetapan dapat dipidana maupun sanksinya.
• Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa. Jadi, sepanjang menguntungkan terdakwa, maka pemberlakuan hukum pidana yang baru (meskipun berlaku surut) dapat dilaksanakan.
Sesuai dengan jiwa pasal 1 KUHP, disyaratkan juga bahwa ketentuan undang-undang harus dirumuskan secermat mungkin. Ini dinamakan asas lex certa. Undang-undang harus membatasi dengan tajam dan jelas wewenang pemerintah terhadap rakyat (lex certa: undang-undang yang dapat dipercayai). Pengertian dasar pasal 1 KUHP juga berkaitan dengan jiwa pasal 3 KUHP: hukum pidana harus diwujudkan dengan prosedur yang memadai dan dengan jaminan hukum.
Satochid Kertanegara dalam buku Hukum Pidana (kumpulan bahan kuliah) menyatakan bahwa dengan adanya Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut di atas, maka KUHP tidak dapat berlaku surut. Hal ini berarti bahwa:
1. KUHP tidak dapat berlaku surut, ini adalah asas yang pertama. Adapun rasionya adalah bahwa KUHP harus bersumber pada peraturan tertulis (asas non retroaktif);
2. KUHP harus bersumber pada peraturan tertulis.
Jadi hukum pidana tidak boleh bersumber pada hukum adat, atau hukum tidak tertulis lainnya. Lain dengan hukum perdata dimana hukum adat masih menjadi salah satu sumber hukum. Hal ini bertentangan dengan pendapat Prof. Moeljatno yang menyatakan bahwa hukum pidana adat itu masih berlaku walaupun hanya untuk orang-orang tertentu dan sementara saja. Dasarnya adalah Pasal 14 ayat 2 UUD Sementara.
Jadi dengan meninjau ketentuan seperti yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) dimana tekanan diletakkan pada perkataan “sebelumnya”, ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak dapat berlaku surut. Namun asas ini bukan merupakan asas yang mutlak. Sebagaimana telah disampaikan dalam buah pemikiran Prof. Moeljatno diatas, senada dengan itu, Prof. Satochid Kartanegara juga menyampaikan bahwa terhadap asas non retroaktif ini, terdapat pengecualian dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan, dipakai aturan yang paling ringan bagi terdakwa. Dari aturan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa ayat ini memungkinkan memperlakukan KUHP secara surut, pada umumnya untuk memperlakukan undang-undang secara surut (asas retroaktif), sepanjang, undang-undang yang baru ini lebih menguntungkan terdakwa/tersangka. Untuk memahami aturan ayat (2) ini, pertama-tama harus dipahami apa yang dimaksudkan dengan perubahan di dalam undang-undang. Perubahan dimaksud adalah perubahan yang terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang, dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, dan apabila undang-undang yang baru ini lebih menguntungkan daripada undang-undang yang lama maka undang-undang yang baru itu harus diperlakukan kepada dirinya. Jadi singkatnya, KUHP boleh diperlakukan surut apabila:
• Dilakukan perubahan undang-undang;
• Perubahan ini terjadi setelah seseorang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, akan tetapi sebelum dijatuhkan hukuman terhadap perbuatan tersebut;
• Undang-undang yang baru terlebih menguntungkan bagi si tersangka, daripada undang-undang yang lama.
Berlakunya asas legalitas seperti diuraikan di atas memberikan sifat perlindungan kepada undang-undang pidana: undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Ini dinamakan fungsi melindungi dari undang-undang pidana. Disamping fungsi melindungi tersebut, undang-undang pidana juga mempunyai fungsi instrumental yaitu di dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan. Asas legalitas ada hubungannya dengan fungsi instrumental dari undang-undang pidana tersebut.
1. Asas Legalitas atau asas oportunitas terhadap penuntutan pidana
Rumusan ketiga von Feuerbach berhubungan dengan fungsi instrumental undang-undang pidana dan merupakan ajaran paksaan psikologis. Undang-undang pidana diperlukan untuk memaksa rakyat berbuat menurut hukum dengan mengancamkan pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum. Tetapi agar ancaman pidana itu mempunyai efek, tiap-tiap pelanggar undang-undang harus sungguh-sungguh dipidana.
Pemerintah juga harus selalu mempergunakan wewenang yang diberikan kepadanya untuk memidana. Disinipun ada landasar syarat keadilan, yaitu asas persamaan, adalah tidak adil dalam keadaan yang sama memidana pelanggar undang-undang yang satu sedangkan yang lain tidak dipidana. Dalam arti keharusan menuntut pidana, asas legalitas mempunyai banyak pengikut terutama di Jerman, di mana sejak akhir abad yang lalu titik tolak dari tindakan yustisial yaitu setiap pelanggaran undang-undang harus dituntut. Ini berlaku juga di beberapa negara lain.
Sebaliknya, di perancis, belgia, dan khususnya di belanda, diikuti asas oportunitas, yang menentukan bahwa pemerintah berwenang tetapi tidak berkewajiban menurut undang-undang untuk menuntut semua perbuatan pidana. Karena alasan-alasan oportunitas penuntutan itu, dapat juga diabaikan (lihat pasal 167 dan 242 Sv).
Cacat-cacat dalam penerapan asas legalitas ini karena adanya pertentangan anatara fungsi instrumental dan fungsi melindungi. Terkadang, demi kepentingan fungsi instrumental undang-undang pidana, kadang fungsi melindungi dikurangi. Syarat-syarat perlindungan hukum kepada rakyat tidak boleh mengikat pemerintah sedemikian rupa sehingga menghalangi tugas penuntutan pidana yang efektif. Harus ada penimbangan kepentingan. Dalam hal ini kita berada di lapangan politik hukum kriminal.
1. Berbagai Aspek asas legalitas
Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:
• Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Pengertian yang pertama tersebut di atas, bahwa harus ada aturan udang-undang jadi aturan hukum yang tertulis terlebih dahulu, jelas tampak dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, dimana dalam teks Belanda disebutkan: “wettelijke strafbepaling”, yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya ketentuan ini, konsekuensinya adalah perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab di situ tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis.
• Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi/kiyas. Asas bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas) pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di Indonesia dan di belanda pada umunya masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa ahli yang tidak dapat menyetujui hal ini, misalnya Taverne, Pompe dan Jonkers. Prof. Scholter menolak adanya perbedaan antara analogi dan tafsiran ekstensif, yang nyata-nyata diperbolehkan. Menurut pendapatnya, baik dalam hal penafsiran ekstensif, maupun dalam analogi dasarnya adalah sama, yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi (lebih umum atau lebih abstrak) daripada norma yang ada. Penerapan undang-undang berdasarkan analogi ini berarti penerapan suatu ketentuan atas suatu kasus yang tidak termasuk di dalamnya. Penerapan berdasarkan analogi dari ketentuan pidana atas kejadian-kejadian yang tidak diragukan patut diidana, akan tetapi tidak termasuk undang-undang pidana memang pernah dilakukan.
• Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada sebelumnya, semikian pasal 1 ayat (1) KUHP. Ayat (2) pasal tersebut memberikan pengecualian sebagaimana telah kita bahas diatas. Peraturan ini berlaku untuk seluruh proses perkara. Dengan kata lain, kalau dalam waktu antara putusan tingkat pertama dan tingkat banding, atau antara banding dengan kasasi terjadi perubahan undang-undang untuk kepentingan terdakwa, maka Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan MA harus menerapkan Pasal 1 ayat (2) KUHP. Ingat, larangan kekuatan surut hanya berlaku untuk ketentuan pidana. Tidak untuk peraturan yurisdiksi misalnya yang berhubngan dengan wewenang pembentuk undang-undang nasional lainnya.
Namun Sahetapy menambahkan lagi empat aspek yakni:
• Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan. Pemidanaan juga harus berdasarkan undang-undang, tidak diperbolehkan berdasarkan kebiasaan. Jadi pelanggaran atas kaidah kebiasaan dengan sendirinya belum menghasilkan perbuatan pidana. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa kaidah kaidah kebiasaan tidak berperan dalam hukum pidana. Adakalanya undang-undang pidana secara implisit atau eksplisit menunjuk ke situ. Penunjukan secara implisit ke kebiasaan terdapat pada blanket norm seperti dalam pasal 282 KUHP, dan beberapa delik omisi di mana tidak berbuat dapat dipidana. Penunjukan secara eksplisit ke kebiasaan terdapat dalam Pasal 8 Wet Oorlogsstrafrecht 1950 (UU Hukum Pidana Perang di Belanda) yang mengancam pidana berat terhadap pelanggaran undang-undang dan kebiasaan perang. Ketentuan-ketentuan tersebut semuanya melanggar asas lex-certa.
• Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas (syarat lex certa). Syarat lex certa berarti bahwa undang-undang harus cukup jelas, sehingga:
a) Merupakan pegangan bagi warga masyarakat dalam memilih tingkah lakunya, dan
b) Untuk memberikan kepastian kepada penguasa mengenai batas-batas kewenangannya.
Namun tidak mungkin untuk merumuskan semua kelakuan yang patut dipidana secara cermat dalam undang-undang. Syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang untuk kelakuan masyarakat, juga ditentukan berdasarkan kebiasaan yang berlaku disitu. Walaupun demikian, orang berhak untuk bertanya, apakah pembuat undang-undang dengan pasal 8 Wet Oorlogsrecht tidak terlampau mudah menyelesaikan tugasnya.
• Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan undang-undang. Undang-undang menentukan pidana-pidana yang dijatuhkan, demikian bunyi Pasal 89 ayat (2) UUD Belanda. Dengan undang-undang disini adalah undang-undang dalam arti formal. Pembentuk undang-undang yang lebih rendah dapat membuat peraturan pidana selama diizinkan oleh pembentuk undang-undang formal. Tetapi tidak boleh menciptakan pidana lain daripada yang telah diatur dan ditentukan oleh undang-undang dalam artian formal. Hakim juga tidak diperbolehkan menjatuhkan pidana lain daripada yang telah ditentukan oleh undang-undang. Meskipun demikian, pasal 14a KUHP memberikan wewenang kepada hakim untuk menetapkan syarat khusus kepada pidana bersyarat berupa kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dipenuhi oleh terpidana, namun hal ini ada batasan-batasannya.
• Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang. Penuntutan pidana adalah seluruh proses pidana, mulai dari pengusutan sampai pelaksanaan pidana (bandingkan pasal 1 butir 7 KUHAP: penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan negeri yang berwenang dalam hal ini menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Peraturan acara pidana dengan demikian sama di seluruh negara. Larangan membuat peraturan acara pidana berlaku untuk pembentuk undang-undang yang lebih rendah, tidak untuk pembentuk undang-undang dalam arti formal.
Daftar Pustaka
Hukum Pidana, Prof. DR. D. Schaffmeister, et.al, diterjemahkan oleh J.E. Sahetapy, Konsorsium Ilmu Hukum Departemen P&K, 1995;
Asas-Asas Hukum Pidana, Prof. Moeljatno, S.H., Rineka Cipta, 2000;
Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Prof. Satochid Kartanegara, Balai Lektur Mahasiswa.
1 comments:
post bagus
Post a Comment