PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 2009
TENTANG
NARKOTIKA
I. UMUM
Narkotika
merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk
pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan
tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang
sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi
muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih
besar bagi kehidupan dan nilainilai budaya bangsa yang pada akhirnya
akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Untuk mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang sangat
merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara,
pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun
2002 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah merekomendasikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia
untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui
ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana
mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur
mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan
kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun,
dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat
menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif
maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan
anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Tindak pidana
Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan
banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat
yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi
dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional.
Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk
mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara
kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di
kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Selain
itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika
dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam
Undang-Undang ini diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena
Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia
yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini
dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan
terhadap jenis-jenis Prekursor Narkotika. Selain itu, diatur pula
mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk
pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika,
diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana
minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara
seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan
dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.
Untuk
lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai
penguatan kelembagaan yang sudah ada yaitu Badan Narkotika Nasional
(BNN). BNN tersebut didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun
2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi, dan
Badan Narkotika Kabupaten/Kota. BNN tersebut merupakan lembaga non
struktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung
kepada Presiden, yang hanya mempunyai tugas dan fungsi melakukan
koordinasi. Dalam Undang- Undang ini, BNN tersebut ditingkatkan menjadi
lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) dan diperkuat kewenangannya
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan. BNN berkedudukan di bawah
Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, BNN juga
mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagai
instansi vertikal, yakni BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota.
Untuk
lebih memperkuat kelembagaan, diatur pula mengenai seluruh harta
kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika
dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan
digunakan untuk kepentingan pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika dan
upaya rehabilitasi medis dan sosial.
Untuk mencegah dan
memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, dalam Undang-Undang
ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan
(wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan
teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik
penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dalam rangka
mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki
jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini
diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun
internasional.
Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta
masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi
anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut
diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam
upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “Prekursor Narkotika” hanya untuk industri farmasi.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Huruf b
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan II” adalah
Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Huruf c
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan III” adalah
Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan ”perubahan penggolongan Narkotika” adalah penyesuaian
penggolongan Narkotika berdasarkan kesepakatan internasional dan
pertimbangan kepentingan nasional.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan” adalah termasuk pelayanan rehabilitasi medis.
Yang
dimaksud dengan “pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah
penggunaan Narkotika terutama untuk kepentingan pengobatan dan
rehabilitasi, termasuk untuk kepentingan pendidikan, pelatihan,
penelitian dan pengembangan serta keterampilan yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan,
penyelidikan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap Narkotika.
Kepentingan
pendidikan, pelatihan dan keterampilan adalah termasuk untuk
kepentingan melatih anjing pelacak Narkotika dari pihak Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Bea dan Cukai dan Badan Narkotika Nasional
serta instansi lainnya.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai:
a.
reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara
terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang
digunakan oleh seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.
b.
reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara
terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita
atau ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika
atau bukan.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “Narkotika dari sumber lain” adalah Narkotika yang
dikuasai oleh pemerintah yang diperoleh antara lain dari bantuan atau
berdasarkan kerja sama dengan pemerintah atau lembaga asing dan yang
diperoleh dari hasil penyitaan atau perampasan sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang ini.
Narkotika yang diperoleh dari sumber lain
dipergunakan terutama untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan,
dan teknologi termasuk juga keperluan pendidikan, pelatihan, dan
keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah yang tugas dan
fungsinya melakukan pengawasan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran
gelap Narkotika.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Ketentuan
ini membuka kemungkinan untuk memberikan izin kepada lebih dari satu
industri farmasi yang berhak memproduksi obat Narkotika, tetapi
dilakukan sangat selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan
Narkotika dapat lebih mudah dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “produksi” adalah termasuk pembudidayaan (kultivasi) tanaman yang mengandung Narkotika.
Yang
dimaksud dengan “jumlah yang sangat terbatas” adalah tidak melebihi
kebutuhan yang diperlukan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan ”swasta” adalah lembaga ilmu pengetahuan yang secara
khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan
penelitian dan pengembangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “balai pengobatan” adalah balai pengobatan yang dipimpin oleh dokter.
Ayat (2)
Ketentuan
ini memberi kewajiban bagi dokter yang melakukan praktek pribadi untuk
membuat laporan yang di dalamnya memuat catatan mengenai kegiatan yang
berhubungan dengan Narkotika yang sudah melekat pada rekam medis dan
disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep selama 3 (tiga)
tahun.
Dokter yang melakukan praktek pada sarana kesehatan yang
memberikan pelayanan medis, wajib membuat laporan mengenai kegiatan yang
berhubungan dengan Narkotika, dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa
simpan resep selama 3 (tiga) tahun.
Catatan mengenai Narkotika di
badan usaha sebagaimana diatur pada ayat ini disimpan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dokumen pelaporan mengenai
Narkotika yang berada di bawah kewenangan Badan Pengawas Obat dan
Makanan, disimpan dengan ketentuan sekurang-kurangnya dalam waktu 3
(tiga) tahun.
Maksud adanya kewajiban untuk membuat, menyimpan,
dan menyampaikan laporan adalah agar Pemerintah setiap waktu dapat
mengetahui tentang persediaan Narkotika yang ada di dalam peredaran dan
sekaligus sebagai bahan dalam penyusunan rencana kebutuhan tahunan
Narkotika.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pelanggaran” termasuk juga segala bentuk penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Cukup jelas.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Yang dimaksud dengan “pencabutan izin” adalah izin yang berkaitan dengan kewenangan untuk mengelola Narkotika.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan ”dalam keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah
apabila perusahaan besar farmasi milik negara dimaksud tidak dapat
melaksanakan fungsinya dalam melakukan impor Narkotika karena bencana
alam, kebakaran
dan lain-lain.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “kawasan pabean tertentu yang dibuka
untuk perdagangan luar negeri” adalah kawasan di pelabuhan laut dan
pelabuhan udara internasional tertentu yang ditetapkan sebagai pintu
impor dan ekspor Narkotika agar lalu lintas Narkotika mudah diawasi.
Pelaksanaan
impor atau ekspor Narkotika tetap tunduk pada Undang-Undang tentang
Kepabeanan dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ketentuan
ini berintikan jaminan bahwa masuknya Narkotika baik melalui laut
maupun udara wajib ditempuh prosedur kepabeanan yang telah ditentukan,
demi pengamanan lalu lintas Narkotika di Wilayah Negara Republik
Indonesia.
Yang dimaksud dengan “penanggung jawab pengangkut” adalah kapten penerbang atau nakhoda.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan ”kemasan khusus atau di tempat yang aman” dalam
ketentuan ini adalah kemasan yang berbeda dengan kemasan lainnya yang
ditempatkan pada tempat tersendiri yang disediakan secara khusus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan mengenai batas waktu dalam menyampaikan laporan dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum dan memperketat pengawasan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “jenis” adalah sediaan bentuk garam atau basa.
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “bentuk” adalah sediaan dalam bentuk
bahan baku atau obat jadi seperti tanaman, serbuk, tablet, suntikan,
kapsul, cairan.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “jumlah”
adalah angka yang menunjukkan banyaknya Narkotika yang terdiri dari
jumlah satuan berat dalam kilogram, isi dalam milliliter.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 30
Ketentuan
ini menegaskan bahwa pada dasarnya dalam transito Narkotika dilarang
mengubah arah negara tujuan. Namun, apabila dalam keadaan tertentu
misalnya terjadi keadaan memaksa (force majeur) sehingga harus dilakukan
perubahan negara tujuan, maka perubahan tersebut harus memenuhi syarat
yang ditentukan dalam ketentuan ini.
Selama menunggu pemenuhan
persyaratan yang diperlukan, Narkotika tetap disimpan di kawasan pabean,
dan tanggung jawab pengawasannya berada di bawah Pejabat Bea dan Cukai.
Pasal 31
Ketentuan
ini menegaskan bahwa dilibatkannya Petugas Badan Pengawas Obat dan
Makanan dalam pengemasan kembali Narkotika pada Transito Narkotika
adalah sesuai dengan tugas dan fungsi Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ketentuan
ini menegaskan bahwa batas waktu 3 (tiga) hari kerja dibuktikan dengan
stempel pos tercatat, atau tanda terima jika laporan diserahkan secara
langsung. Dengan adanya pembatasan waktu kewajiban menyampaikan laporan,
maka importir harus segera memeriksa jenis, mutu, dan jumlah atau bobot
Narkotika yang diterimanya sesuai dengan Surat Persetujuan Impor yang
dimiliki.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “wajib dilengkapi dengan dokumen
yang sah” adalah bahwa setiap peredaran Narkotika termasuk pemindahan
Narkotika ke luar kawasan pabean ke gudang importir, wajib disertai
dengan dokumen yang dibuat oleh importir, eksportir, industri farmasi,
pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, atau apotek.
Dokumen
tersebut berupa Surat Persetujuan Impor/Ekspor, faktur, surat angkut,
surat penyerahan barang, resep dokter atau salinan resep dokter, yang
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Narkotika bersangkutan.
Pasal 39
Ayat (1)
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “industri farmasi, dan pedagang
besar farmasi” adalah industri farmasi, dan pedagang besar farmasi
tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan Narkotika.
Ayat (2)
Ketentuan
ini menegaskan bahwa Izin khusus penyaluran Narkotika bagi sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah diperlukan sepanjang surat
keputusan pendirian sarana penyimpanan sediaan farmasi tersebut tidak
dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 40
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah tertentu” adalah sarana yang mengelola sediaan farmasi dan
alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
Daerah, TNI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Badan Usaha Milik
Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan.
Huruf d
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan ”rumah sakit” adalah rumah sakit
yang telah memiliki instalasi farmasi memperoleh Narkotika dari industri
farmasi tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketentuan ini menegaskan bahwa rumah sakit yang belum mempunyai instalasi farmasi hanya dapat memperoleh Narkotika dari apotek.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Ketentuan
ini menegaskan bahwa pemberian kewenangan penyimpanan dan penyerahan
Narkotika dalam bentuk suntik dan tablet untuk pemakaian oral (khususnya
tablet morphin) salah satu tujuannya adalah untuk memudahkan dokter
memberikan tablet Narkotika tersebut kepada pasien yang mengidap
penyakit kanker stadium yang tidak dapat disembuhkan dan hanya morphin
satu-satunya obat yang dapat menghilangkan rasa sakit yang tidak
terhingga dari penderita kanker tersebut.
Huruf b
Lihat penjelasan huruf a.
Huruf c
Ketentuan
ini menegaskan bahwa penyerahan Narkotika oleh dokter yang menjalankan
tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek memerlukan surat izin
penyimpanan Narkotika dari Menteri Kesehatan atau pejabat yang diberi
wewenang. Izin tersebut melekat pada surat keputusan penempatan di
daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan hanya untuk Narkotika Golongan II dan Golongan III.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Ketentuan
ini menegaskan bahwa pencantuman label dimaksudkan untuk memudahkan
pengenalan sehingga memudahkan pula dalam pengendalian dan
pengawasannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “label” adalah label khusus yang
diperuntukan bagi Narkotika yang berbeda dari label untuk obat lainnya.
Pasal 46
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “dipublikasikan” adalah yang
mempunyai kepentingan ilmiah dan komersial untuk Narkotika baik dalam
bentuk obat jadi maupun bahan baku Narkotika, di kalangan terbatas
kedokteran dan farmasi.
Penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan Narkotika, tidak termasuk kriteria publikasi.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan ”menteri terkait” antara lain menteri yang membidangi
urusan perindustrian dan menteri yang membidangi urusan perdagangan.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ”bukti yang sah” antara lain surat keterangan dokter, salinan resep, atau label/etiket.
Pasal 54
Yang
dimaksud dengan ”korban penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang
tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.
Pasal 55
Ayat (1)
Ketentuan
ini menegaskan bahwa untuk membantu Pemerintah dalam menanggulangi
masalah dan bahaya penyalahgunaan Narkotika, khususnya untuk pecandu
Narkotika, maka diperlukan keikutsertaan orang tua/wali, masyarakat,
guna meningkatkan tanggung jawab pengawasan dan bimbingan terhadap
anak-anaknya.
Yang dimaksud dengan “belum cukup umur” dalam ketentuan ini adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Ketentuan
ini menegaskan bahwa rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dilakukan
dengan maksud untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik,
mental, dan sosial penderita yang bersangkutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “instansi pemerintah” misalnya Lembaga Pemasyarakatan Narkotika dan Pemerintah Daerah.
Ketentuan
ini menegaskan bahwa untuk rehabilitasi medis bagi Pecandu Narkotika
pengguna jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah
penularan antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan
pengawasan ketat Departemen Kesehatan.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Rehabilitasi sosial dalam ketentuan ini termasuk melalui pendekatan keagamaan, tradisional, dan pendekatan alternative lainnya.
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “mantan Pecandu Narkotika” adalah
orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap Narkotika secara
fisik dan psikis.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan
“lembaga rehabilitasi sosial” adalah lembaga rehabilitasi sosial yang
diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini tidak mengurangi upaya pencegahan melalui kegiatan ekstrakurikuler pada perguruan tinggi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang
dimaksud dengan “kemampuan lembaga” dalam ketentuan ini misalnya
memberikan penguatan, dorongan, atau fasilitasi agar lembaga
rehabilitasi medis terjaga keberlangsungannya.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ketentuan
ini menegaskan bahwa kerja sama internasional meliputi juga kerja sama
dalam rangka pencegahan dan pemberantasan kejahatan Narkotika
transnasional yang terorganisasi.
Pasal 64
Ayat (1)
Ketentuan
ini menegaskan bahwa dengan dibentuknya Badan Narkotika Nasional yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden yang mempunyai tugas dan
fungsi koordinasi dan operasional dalam pengelolaan Narkotika dan
Prekursor Narkotika, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diharapkan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
dapat dicegah dan diberantas sampai ke akar-akarnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang
dimaksud “berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia” dalam ketentuan ini adalah tidak mengurangi kemandirian dalam
menentukan kebijakan dan melaksanakan tugas dan wewenang BNN.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Ketentuan
ini menegaskan bahwa jika terdapat perkara lain yang oleh undang-undang
juga ditentukan untuk didahulukan, maka penentuan prioritas diserahkan
kepada pengadilan.
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan
“penyelesaian secepatnya” adalah mulai dari pemeriksaan, pengambilan
putusan, sampai dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 75
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang
dimaksud dengan ”interdiksi” adalah mengejar dan/atau menghentikan
seseorang/kelompok orang, kapal, pesawat terbang, atau kendaraan yang
diduga membawa Narkotika dan Prekursor Narkotika, untuk ditangkap
tersangkanya dan disita barang buktinya.
Huruf i
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “penyadapan” adalah kegiatan atau
serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan
oleh penyidik BNN atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan cara menggunakan alat-alat elektronik sesuai dengan kemajuan
teknologi terhadap pembicaraan dan/atau pengiriman pesan melalui telepon
atau alat komunikasi elektronik lainnya.
Termasuk di dalam penyadapan adalah pemantauan elektronik dengan cara antara lain:
a. pemasangan transmitter di ruangan/kamar sasaran untuk mendengar/merekam semua pembicaraan (bugging);
b. pemasangan transmitter pada mobil/orang/barang yang bisa dilacak keberadaanya (bird dog);
c. intersepsi internet;
d. cloning pager, pelayan layanan singkat (SMS), dan fax;
e. CCTV (Close Circuit Television);
f. pelacak lokasi tersangka (direction finder).
Perluasan
pengertian penyadapan dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan
teknologi informasi yang digunakan oleh para pelaku tindak pidana
Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika dalam mengembangkan
jaringannya baik nasional maupun internasional karena perkembangan
teknologi berpotensi dimanfaatkan oleh pelaku kriminal yang sangat
menguntungkan mereka. Untuk melumpuhkan/memberantas jaringan/sindikat
Narkotika dan Prekursor Narkotika maka system komunikasi/telekomunikasi
mereka harus bisa ditembus oleh penyidik, termasuk melacak keberadaan
jaringan tersebut.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Tes
urine, tes darah, tes rambut, dan tes bagian tubuh lainnya dilakukan
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
membuktikan ada tidaknya Narkotika di dalam tubuh satu orang atau
beberapa orang, dan tes asam dioksiribonukleat (DNA) untuk identifikasi
korban, pecandu, dan tersangka.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Yang dimaksud dengan ”pemindaian” dalam ketentuan ini adalah scanning baik yang dapat dibawa-bawa (portable) maupun stationere.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan
Prekursor Narkotika” adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan
dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Badan Pengawas Obat
dan Makanan.
Kewenangan penyidik pegawai negeri sipil kementerian
atau lembaga pemerintah nonkementerian tersebut sesuai dengan bidang
tugasnya masing-masing yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan
fungsi koordinasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “laboratorium tertentu” adalah
laboratorium yang sudah terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Ketentuan
ini menegaskan bahwa tanaman Narkotika yang dimaksud pada ayat ini
tidak hanya yang ditemukan di ladang juga yang ditemukan di
tempat-tempat lain atau tempat tertentu yang ditanami Narkotika,
termasuk tanaman Narkotika dalam bentuk lainnya yang ditemukan dalam
waktu bersamaan ditempat tersebut.
Dalam ketentuan ini yang
dimaksud dengan “sebagian kecil” adalah dalam jumlah yang wajar dari
tanaman Narkotika untuk digunakan sebagai barang bukti dalam penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Ayat (2)
Ketentuan
ini menegaskan bahwa jangka waktu 14 (empat belas) hari dimaksudkan
agar penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertugas di
daerah yang letak geografisnya dan transportasinya sulit dicapai dapat
melaksanakan tugas pemusnahan Narkotika yang ditemukan dengan
sebaik-baiknya karena pelanggaran terhadap jangka waktu ini dapat
dikenakan pidana.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “pejabat yang menyaksikan
pemusnahan” adalah pejabat yang mewakili unsur kejaksaan dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan.
Dalam hal kondisi tempat tanaman
Narkotika ditemukan tidak memungkinkan untuk menghadirkan unsur pejabat
tersebut maka pemusnahan disaksikan oleh pihak lain yaitu pejabat atau
anggota masyarakat setempat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk kepentingan identifikasi jenis, isi dan kadar Narkotika (drugs profiling).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “seluruh harta kekayaan dan harta
benda” adalah seluruh kekayaan yang dimiliki, baik benda bergerak maupun
tidak bergerak, yang berwujud maupun tidak berwujud, yang ada dalam
penguasaannya atau yang ada dalam penguasaan pihak lain (isteri atau
suami, anak dan setiap orang atau badan), yang diperoleh atau diduga
diperoleh dari tindak pidana Narkotika yang dilakukan oleh tersangka
atau terdakwa.
Pasal 98
Berdasarkan ketentuan ini Hakim
bebas untuk melaksanakan kewenangannya meminta terdakwa untuk
membuktikan bahwa seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau
suami, anak dan setiap orang atau badan bukan berasal dari tindak pidana
Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 99
Ketentuan ini
dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pelapor
yang memberikan keterangan mengenai suatu tindak pidana Narkotika, agar
nama dan alamat pelapor tidak diketahui oleh tersangka, terdakwa, atau
jaringannya pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 100
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan “keluarganya” adalah orang yang mempunyai hubungan
darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping
sampai derajat kesatu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 101
Ayat (1)
Ketentuan
ini menegaskan bahwa dalam menetapkan Narkotika dan Prekursor Narkotika
yang dirampas untuk negara, hakim memperhatikan ketetapan dalam proses
penyidikan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Dalam
ketentuan ini yang dimaksud dengan “hasilnya” adalah baik yang berupa
uang atau benda lain yang diketahui atau diduga keras diperoleh dari
tindak pidana Narkotika.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Perampasan
harta dan kekayaan atau aset hasil tindak pidana pencucian uang
berdasarkan putusan pengadilan yang tetap, dirampas untuk negara dan
dapat digunakan untuk biaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika serta untuk
pembayaran premi bagi anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap
adanya tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika.
Dengan demikian masyarakat dirangsang untuk berpartisipasi aktif dalam
pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika. Disamping itu harta dan kekayaan atau
aset yang disita negara tersebut dapat pula digunakan untuk membiayai
rehabilitasi medis dan sosial para korban penyalahguna Narkotika dan
Prekursor Narkotika. Proses penyidikan harta dan kekayaan atau aset
hasil tindak pidana pencucian uang dilaksanakan sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Ayat (1)
Huruf a
Ketentuan
ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Pecandu Narkotika
yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung
pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi
Pecandu Narkotika yang bersangkutan.
Huruf b
Ketentuan ini
menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi Pecandu Narkotika yang
tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung
pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis
(hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut
dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa Pecandu Narkotika
tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana
Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan.
Biaya
pengobatan dan atau perawatan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti
bersalah melakukan tindak pidana Narkotika sepenuhnya menjadi beban dan
tanggung jawab negara, karena pengobatan dan atau perawatan tersebut
merupakan bagian dari masa menjalani hukuman. Sedangkan bagi pecandu
Narkotika yang tidak terbukti bersalah biaya pengobatan dan/atau
perawatan selama dalam status tahanan tetap menjadi beban negara,
kecuali tahanan rumah dan tahanan kota.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Ketentuan
ini menegaskan bahwa dalam pemberian penghargaan harus tetap
memperhatikan jaminan keamanan dan perlindungan terhadap yang diberi
penghargaan. Penghargaan diberikan dalam bentuk piagam, tanda jasa,
premi, dan/atau bentuk penghargaan
lainnya.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan “cacat permanen” dalam ketentuan ini adalah cacat fisik
dan/atau cacat mental yang bersifat tetap atau tidak dapat
dipulihkan/disembuhkan.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Ayat (1)
Yang
dimaksud dengan ”percobaan” adalah adanya unsur-unsur niat, adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 5062
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN I
1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.
2.
Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah
tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar
untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.
3. Opium masak terdiri dari :
a.
candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan
pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan
atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya
menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.
b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.
c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.
5.
Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk
serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga
Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui
perubahan kimia.
6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.
7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.
8.
Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari
tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau
bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis.
9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.
10. Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya.
11. Asetorfina : 3-0-acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina
12. Acetil – alfa – metal fentanil : N-[1-(α-metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida
LAMPIRAN I
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 35 Tahun 2009 2009 2009
TANGGAL : 12 Oktober 2009 Juli 2009
13. Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida
14. Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-metil-2-(2-tienil) etil]-4-iperidil] priopionanilida
15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionanilida
16. Beta-hidroksi-3-metilfentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil] propio-nanilida.
17. Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina
18. Etorfina : tetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina
19. Heroina : Diacetilmorfina
20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4-propionilpiperidina
21. 3-metilfentanil : N-(3-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
22. 3-metiltiofentanil : N-[3-metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil] propionanilida
23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)
24. Para-fluorofentanil : 4‘-fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida
25. PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)
26. Tiofentanil : N-[1-[2-(2-tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida
27. BROLAMFETAMINA, nama lain DOB : (})-4-bromo-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
28. DET : 3-[2-( dietilamino )etil] indol
29. DMA : ( + )-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
30. DMHP : 3-(1 ,2-dimetilheptil)-7 ,8,9, 10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6H- dibenzo[b, d]piran-1-ol
31. DMT : 3-[2-( dimetilamino )etil] indol
32. DOET : (})-4-etil-2,5-dimetoksi- α -metilfenetilamina
33. ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-etil-1-fenilsikloheksilamina
34. ETRIPTAMINA : 3-(2aminobutil) indole
35. KATINONA : (-)-(S)- 2-aminopropiofenon
36. ( + )-LISERGIDA, nama lain LSD, LSD-25 : 9,10-didehidro-N, N-dietil-6-metilergolina-8 β –karboksamida
37. MDMA : (})-N, α -dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
38. meskalina : 3,4,5-trimetoksifenetilamina
39. METKATINONA : 2-(metilamino )-1- fenilpropan-1-on
40. 4- metilaminoreks : (})-sis- 2-amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina
41. MMDA : 5-metoksi- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
42. N-etil MDA : (})-N-etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamin
43. N-hidroksi MDA : (})-N-[ α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetil]hidroksilamina
44. paraheksil : 3-heksil-7,8,9, 10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H-dibenzo [b,d] piran-1-ol
45. PMA : p-metoksi- α -metilfenetilamina
46. psilosina, psilotsin : 3-[2-( dimetilamino )etil]indol-4-ol
47. PSILOSIBINA : 3-[2-(dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat
48. ROLISIKLIDINA, nama lain PHP,PCPY : 1-( 1- fenilsikloheksil)pirolidina
49. STP, DOM : 2,5-dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina
50. TENAMFETAMINA, nama lain MDA : α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina
51. TENOSIKLIDINA, nama lain TCP : 1- [1-(2-tienil) sikloheksil]piperidina
52. TMA : (})-3,4,5-trimetoksi- α -metilfenetilamina
53. AMFETAMINA : (})- α –metilfenetilamina
54. DEKSAMFETAMINA : ( + )- α –metilfenetilamina
55. FENETILINA : 7-[2-[( α -metilfenetil)amino]etil]teofilina
56. FENMETRAZINA : 3- metil- 2 fenilmorfolin
57. FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-( 1- fenilsikloheksil)piperidina
58. LEVAMFETAMINA, nama lain levamfetamina : (- )-(R)- α -metilfenetilamina
59. levometamfetamina : ( -)- N, α -dimetilfenetilamina
60. MEKLOKUALON : 3-( o-klorofenil)- 2-metil-4(3H)- kuinazolinon
61. METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α –dimetilfenetilamina
62. METAKUALON : 2- metil- 3-o-to lil-4(3H)- kuinazolinon
63. ZIPEPPROL : α - ( α metoksibenzil)-4-( β-metoksifenetil )-1-piperazinetano
64. Opium Obat
65. Campuran atau sediaan opium obat dengan bahan lain bukan narkotika
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN II
- Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana
- Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
- Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
- Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
- Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1-il)etil]-4-(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N-fenilpropanamida
- Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
- Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4-karboksilat etil ester
- Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
- Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
- Benzilmorfina : 3-benzilmorfina
- Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
- Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol
- Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina
- Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana
- Bezitramida : 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1-benzimidazolinil)-piperidina
- Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)butil]-morfolina
- Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida
- Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2’-tienil)-1-butena
- Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
- Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik
- Dihidromorfina
- Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol
- Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat
- Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena
- Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat
- Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona
- Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6s,14-diol
- Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.
- Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena
- Etokseridina : asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
- Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5-nitrobenzimedazol
- Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4 fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester)
- Hidrokodona : Dihidrokodeinona
- Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat etil ester
- Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina
- Hidromorfona : Dihidrimorfinona
- Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona
- Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona
- Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida
- Fenazosina : 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan
- Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan
- Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
- Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina
- Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol
- Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima
- Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan
- Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)butil] morfolina
- Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan
- Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan
- Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona
- Metadona intermediat : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana
- Metazosina : 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan
- Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina
- Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina
- Metopon : 5-metildihidromorfinona
- Mirofina : Miristilbenzilmorfina
- Moramida intermediat : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana karboksilat
- Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
- Morfina-N-oksida
- Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-Noksida
- Morfina
- Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina
- Norasimetadol : (})-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana
- Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan
- Normetadona : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heksanona
- Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina
- Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona
- Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona
- Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona
- Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina
- Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
- Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat
- Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester
- Piminodina : asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe ridina-4-karboksilat etil ester
- Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1-piperidino)-piperdina-4-karboksilat amida
- Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana
- Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester
- Rasemetorfan : (})-3-metoksi-N-metilmorfinan
- Rasemoramida : (})-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil]-morfolina
- Rasemorfan : (})-3-hidroksi-N-metilmorfinan
- Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil -4-piperidil] propionanilida
- Tebaina
- Tebakon : Asetildihidrokodeinona
- Tilidina : (})-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1-karboksilat
- Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina
- Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas.
DAFTAR NARKOTIKA GOLONGAN III
- Asetildihidrokodeina
- Dekstropropoksifena : α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2-butanol propionat
- Dihidrokodeina
- Etilmorfina : 3-etil morfina
- Kodeina : 3-metil morfina
- Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina
- Nikokodina : 6-nikotinilkodeina
- Norkodeina : N-demetilkodeina
- Polkodina : Morfoliniletilmorfina
- Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamida
- Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]-6,14-endo-entano-6,7,8,14-tetrahidrooripavina
- Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas
- Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika
- Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
GOLONGAN DAN JENIS PREKURSOR
TABEL I
- Acetic Anhydride.
- N-Acetylanthranilic Acid.
- Ephedrine.
- Ergometrine.
- Ergotamine.
- Isosafrole.
- Lysergic Acid.
- 3,4-Methylenedioxyphenyl-2-propanone.
- Norephedrine.
- 1-Phenyl-2-Propanone.
- Piperonal.
- Potassium Permanganat.
- Pseudoephedrine.
- Safrole.
TABEL II
- Acetone.
- Anthranilic Acid.
- Ethyl Ether.
- Hydrochloric Acid.
- Methyl Ethyl Ketone.
- Phenylacetic Acid.
- Piperidine.
- Sulphuric Acid.
- Toluene.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
LAMPIRAN II
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 35 Tahun 2009
TANGGAL : 12 Oktober 2009
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat, Wisnu Setiawan
0 comments:
Post a Comment