Hubungan Sebab Akibat (Kausalitas)

on Friday 18 March 2011

Hubungan Sebab Akibat dalam Hukum Pidana(Kausalitas)
Penentuan sebab untuk terwujudnya akibat dari suatu delik, adalah hal yang cukup sulit untuk dipecahkan dalam Hukum Pidana. KUHP pun tidak memberi batasan tegas tentang hal itu, hanya menentukan beberapa delik tertentu yang membutuhkan akibat untuk dapat dituntut pidana yakni pada delik-delik materiil. Salah satu kesulitan dalam kausalitas dapat diperhatikan contoh kasus berikut : A memukul B dengan sepotong besi tepat mengena diatas kepala B, sehingga kepala B mengucur darah dan B tersungkur ke tanah. B ditolong dua orang petugas kebersihan pasar, namun tegesa-gesa ketika mengangkat B, kedua petugas pasar itu terjatuh bersama B yang menyebabkan luka B bertambah parah. Setelah tiba di RSU Abe, dokter tidak ada ditempat dan ketika dokter tiba tanpa memberi pertolongan pertama langsung membuat rujukan ke RSU Dok II. Supir ambulance yang melarikan mobil begitu cepat akhirnya menabrak tiang telepon dekat lingkaran Abe, yang menyebabkan leher B patah dan kepala B bertambah lukanya. Tiba RSU Dok II dokter menyuruh suster menyuntik B agar luka B berkurang sakitnya untuk sementara. Akan tetapi diluar dugaan setelah B disuntik B menghembuskan nafas terakhir.
Memperhatikan kasus posisi diatas, siapakah yang paling bertanggung jawab atas meninggalnya B, atau sebab manakah yang menimbulkan akibat B meninggal dunia, apakah A yang memukul kepala B, supir ambulance, petugas pasar, dokter yang terlambat atau tidak memberi pertolongan pertama, suster yang salah menjalankan instruksi, atau dokter yang salah memberi instruksi menyuntik B.
Untuk menjawab masalah kausalitas, maka dalam Hukum Pidana terdapat beberapa teori yang mencoba menjelaskan sebab yang menimbulkan akibat pada suatu delik.
1. Teori Ekuivalensi
Teori ekuivalensi disebut juga teori condition sine qua non; yang dipelopori oleh Von Buri (1873).
Inti ajaran teori ekuivalensi bahwa tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada, maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat, baik positif maupun negative untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan, maka tidak akan terjadi akibat konkrit, seperti yang senyata-nyatanya menurut waktu, tempat dan keadaan. Jadi menurut teori ini tidak ada syarat yang dihilangkan, sebab dapat mengubah akibat. Jelasnya semua faktor adalah syarat yang turut serta menyebabkan suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht).
Kebaikan teori ini ialah mudah diterapkan, sehingga tidak banyak menimbulkan persoalan, dan konsekuensinya semua yang terlibat harus dimintakan pertanggungjawaban pidana. Kelemahan teori ini hubungan sebab akibat atau kausal itu terbentang jauh ke belakang tanpa akhir, karena tiap-tiap sebab merupakan akibat terjadi delik.
2. Teori Individualisasi
Teori ini berpatokan pada keadaan setelah peristiwa terjadi ( post factum). Artinya faktor-faktor aktif atau pasif dipilih sebab yang paling menentukan dari kasus, sedangkan faktor lain hanya syarat saja (tidak dianggap menentukan timbul akibat). Ada dua pakar yang menganjurkan teori individualisasi ini yakni Birkmayer dan Binding.
 Birkmayer (Sudarto, 1990: 69) menjelaskan bahwa sebab adalah syarat yang paling kuat, tetapi bagaimanakah menentukan faktor yang paling kuat itu, apa ukurannya, pertanyaan itulah yang merupakan kritikan terhadap pandangan Birkmayer.
 Binding (Sudarto, 1990: 69) menjelaskan bahwa sebab dai suatu perubahan adalah identik dengan perubahan dalam keseimbangan antara faktor yang menahan (negative) dan faktor positif. Faktor positif ialah yang lebih unggul. Disebut sebab yakni syarat-syarat positif yang memiliki keunggulan terhadap syarat-syarat negatif. Satu-satunya sebab ialah faktor atau syarat yang terakhir yang mampu menghilangkan keseimbangan.
3. Teori Generalisasi, Teori ini dipelopori oleh Von Bar (1970).
Teori generalisasi berpatokan pada sebelum terjadi kasus. Pada serentetan syarat adakah perbuatan manusia yang dalam pandangan umum dapat menimbulkan akibat terjadinya delik. Jadi criteria yang dipakai adalah hanya satu perbuatan yang menurut perhitungan normal adalah patut menimbulkan akibat terjadi delik. Sehingga hanya sebab yang kuat (adequate; ad-aequare = dibuat sama; Sudarto; 1990: 69 ) dianggap sebab yang menimbulkan akibat.
 Perhitungan normal dalam teori generalisasi menggunakan dua patokan, yaitu :
Patokan Subyektif; yang dipelopori oleh Von Kries; yang menyatakan bahwa dianggap sebab menimbulkan akibat ialah apa yang oleh pembuat delik diketahui/diperkirakan dapat menimbulkan akibat; Adequt yang berpatokan subyektif menurut Von Kries bahwa serangkaian faktor-faktor penyebab hanyalah satu sebab saja yang dapat diterima, yaitu faktor yang sebelumnya dapat diketahui oleh pembuat delik.
 Patokan Obyektif; yang dipelopori oleh Rumelink; yang menyatakan bahwa dasar penentuan suatu perbuatan dapat menimbulkan akibat ialah keadaan atau hal-hal yang secara obyektif kemudian diketahui atau pada umumnya diketahui, jadi bukan terletak pada pembuat delik, tapi ditentukan oleh hakim. Akan tetapi faktor itu ada setelah delik terjadi.
Sebenarnya disebut adequate ialah sipembuat harus membayangkan akan terjadi akibat atau kalau orang pada umumnya juga membayangkan demikian. Seperti pada contoh kasus diatas, bahwa A sebetulnya sudah dapat membayangkan jika seorang dipukul dengan sepotong besi apalagi pada kepala, pasti menimbulkan akibat dapat menyebabkan orang yang dipukul itu meninggal dunia.
4. Teori Adequate dari Treger
Akibat delik harus yang pada umumnya dapat disadari sebagai sesuatu yang mungkin sekali bisa terjadi.
 Dalam yurisprudensi tentang sebab akibat ini dikutip 2 (dua) yurisprudensi sebagai berikut :
Putusan Raad van Justitie Batavia 23 Juli 1937 ( dikutip dari Sudarto, 1990: 73) bahwa sebuah mobil menabrak sepeda motor. Pengendara sepeda motor terpental keatas rel kereta api; dan seketika itu digilas oleh kereta api. Tergilasnya pengendara sepeda motor oleh kereta api itu dipandang oleh pengadilan sebagai akibat langsung dan segera dari penabrakan sepeda motor oleh mobil, maka matinya korban dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan terdakwa (pengendara mobil).
 Yurisprudensi Putusan Pengadilan Negeri Pontianak, 7 Mei 1951 (dikutip dari Sudarto, 1990: 73) terdakwa sebagai kerani (pegawai administrasi) bertanggungjawab atas tenggelamnya kapal yang disebabkan terlalu berat muatan, yang mengakibatkan 7 orang meninggal dunia, oleh karena terdakwa sebagai orang yang pemasok barang angkutan kapal tidak memperdulikan peringatan berbagai pihak tentang adanya overload pada kapal itu akan berangkat. Didalam pertimbangan hakim disebut perbuatan terdakwa mempunyai hubungan erat dengan kecelakaan tenggelamnya kapal itu.
Pada delik-delik omisi dapat juga terjadi kausalitas, apabila dikaitkan dengan kausalitas pada pengabaian, seperti penjaga kereta api yang tidak mau membuka pintu rel kereta api sehingga terjadi kecelakaan kereta api. Sekalipun penjaga kereta tidak berbuat, tapi dianggap mengabaikan perintah undang-undang sehingga dianggap mempunyai kaitan erat antara terjadi kecelakaan kereta api dengan tindakan pengabaian (tidak memenuhi kewajiban) dari penjaga rel kereta api
Kausalitas ada pada delik omisi karena merupakan pewujudan dari kelakuan negatif, yakni pengabaian. Pertanyaan yang timbul ialah teori kausalitas manakah yang dipakai di Indonesia?
Utrecht (1960: 390, dalam Zainal Abidin, 1995: 218) menyatakan bahwa rupanya yurisprudensi Indonesia mengikuti teori Von Kries yang lazimnya dinamakan Teori Adequate Subyektif, karena yang diberi nilai dan harus diperhatikan hakin ialah perbuatan yang akan menimbulkan akibat sebelumnya dapat diketahui atau dapat diramalkan dengan kepastian yang kuat oleh pembuat delik. Teori ini dikenal juga dengan sebutan Teori Subyektieve Prognose (teori ramalan subyektif), disebutkan demikian, karena akibat perbuatan yang dilakukan sebelumnya telah dapat diramalkan atau diprognase, yang dapat menjadi causa yang adequate (causa yang seimbang, sesuai, sepadan).

0 comments: